Senin, 15 Februari 2010

Cap Go Meh dalam berbagai Pandangan Sejarah


Hari raya Cap Go Meh adalah lafal dialek Tio Ciu dan Hokkian. Artinya malam 15. sedangkan lafal dialek Hakka Cang Njiat Pan. Artinya pertengahan bulan satu. Di daratan Tiongkok dinamakan Yuan Xiau Jie dalam bahasa Mandarin artinya festival malam bulan satu. Cap Go Meh jatuh pada tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek adalah salah satu hari raya tradisional Tiongkok. Menurut tradisi rakyat Tiongkok, sehabis Cap Go Meh, maka berakhirlah seluruh perayaan Tahun Baru Imlek.

Hari raya Cap Go Meh juga disebut Yuanxi, Yuanye atau Shang Yuanjie dalam bahasa Tionghoa. Malam Cap Go Meh adalah malam pertama bulan purnama setiap tahun baru. Pada malam itu, rakyat Tiongkok mempunyai kebiasaan memasang lampion berwarna-warni, maka festival ini juga disebut sebagai “hari raya lampion”.

Versi Pertama

Ini bermula pada zaman dinasti Zhou (770 - 256 SM) dimana setiap tanggal 15 malam bulan satu Imlek para petani memasang lampion-lampion yang dinamakan Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang-binatang perusak tanaman.

Memasang lampion-lampion selain bermanfaat mengusir hama, kini tercipta pemandangan yang indah dimalam hari tanggal 15 bulan satu. Dan untuk menakuti atau mengusir binatang-binatang perusak tanaman, mereka menambah segala bunyi-bunyian serta bermain barongsai, agar lebih ramai dan bermanfaat bagi petani. Kepercayaan dan tradisi budaya ini berlanjut turun menurun, baik didaratan Tiongkok maupun diperantauan diseluruh dunia. Ini adalah salah satu versi darimana asal muasalnya Capgome.

Versi Kedua

Konon pada tahun 180 Sebelum Masehi, Kaisar Hanwudi yang berkuasa pada masa Dinasti Han Barat naik takhta pada tanggal 15 bulan pertama Imlek. Untuk merayakan penobatannya, Kaisar Han Wudi mengambil keputusan untuk menjadikan tanggal 15 bulan pertama sebagai hari raya lampion. Pada malam tanggal 15 bulan pertama setiap tahun, ia berkebiasaan bertamasya ke luar istana dan merayakan festival itu bersama rakyat.

Pada tahun 104 Sebelum Masehi, Festival Cap Go Meh secara resmi dicantumkan sebagai hari raya nasional. Berkat keputusan itu, skala Festival Cap Go Meh meningkat lebih lanjut. Menurut peraturan, setiap tempat publik dan setiap keluarga diharuskan memasang lampion berwarna-warni, khususnya di jalan utama dan pusat kebudayaan akan diadakan pameran lampion besar-besaran yang meriah. Rakyat, baik yang berusia tua maupun yang berusia muda, pria maupun wanita semuanya akan berdatangan ke pekan lampion untuk menyaksikan lampion dan tari lampion naga, di samping menebak teka-teki.

Versi Ketiga

Bermula pada masa pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han. Di istana Wu Di tinggal seorang pembantu istana bernama Yuanxiao. Yuanxiao ingin menjenguk keluarganya, namun aturan istana melarang semua pembantu meninggalkan istana.

Beruntung Yuanxiao memiliki teman seorang menteri bernama Shuo Dongfang. Dia adalah seorang yang cerdik dan menetapkan dirinya untuk membantu pembantu yang tidak berdaya itu.

Shuo berkata kepada kaisar bahwa Dewa Surga telah memerintahkan kepada Dewa Api untuk menghancurkan kota Changan pada tanggal 15 bulan 1 tahun Imlek. Dia berkata kepada Wu Di bahwa satu-satunya cara untuk menenangkan sang Dewa adalah dengan memberikan persembahan kembang api, membunyikan petasan dan mempertontonkan lentera-lentera berwarna merah. Untuk membuat persembahan memuaskan hati sang Dewa maka semua orang di kota harus turut ikut serta.

Dewa Api juga sangat menyukai kue nasi lengket, khususnya yang dibuat oleh Yuanxiao, yang mana dianjurkan oleh Shou agar dipersembahkan secara langsung. Beruntung, sang kaisar mempercayai kebohongan itu dan memerintahkan agar kota Changan mempersiapkan semuanya.

Pada hari yang ditentukan, penduduk kota menyalakan kembang api dan memasang lentera-lentera. Mereka bergembira ria sepanjang malam. Dan Yuanxiao mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan istana dan mengunjungi keluarganya.

Sang Kaisar, yang sangat senang atas perayaan tersebut, memerintahkan agar perayaan yang sama dilakukan pada tahun berikutnya dan Yuanxiao diperintahkan untuk membuat kue nasi lengket.

Pada Perayaan Lentera Maka pada tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek menjadi sebuah hari bagi perayaan besar sampai hari ini, merayakan bulan penuh pertama pada tahun yang baru dan berkumpulnya keluarga serta kehidupan yang bahagia.

Kue nasi lengket yang dimakan sampai saat ini dinamakan Yuan Xiao untuk mengingat pembantu istana tersebut.

Versi Keempat

Perayaan yang disebut dengan upacara perayaan Goan Siauw yang secara besar-besaran pernah dilakukan pada zaman Tong (Tang) tepatnya di masa Kaisar Tong Jwee Cong (710-712) yang konon membuat replika pohon yang dihiasi oleh 50 ribu lilin.

Versi Kelima


Cap Go Meh dimaksudkan untuk memperingati hari lahir Siang Goan Thian Koan. Dia adalah dewa yang memerintah bumi dan langit. Pada hari Cap Go Meh, Siang Goan Thian Koan turun ke bumi untuk mengampuni umat manusia.

Versi Keenam

Cap Go Meh dirayakan sebagai pesta musim bunga terbesar untuk menghormati matahari yang muncul pada musim dingin. Maka hari itu orang-secara beramai-ramai akan mengadakan permainan Barongsai, Liong ataupun Kilin sebagai lambang musim bunga, hujan dan kesuburan pada malam purnama.

Cap Go Meh dirayakan dengan memasang lampion berwarna-warni sambil menikmati bulan yang terang.

Versi Ketujuh

Cap Go Meh sebagai perayaan untuk bertobat atau memohon ampunan agar manusia dijauhkan dari musim paceklik. Versi ini terutama didasari cerita tentang seorang raja yang telah melakukan kesalahan karena telah memecahkan botol seorang pertapa. Botol yang dilarang untuk dibuka itu, ternyata adalah peristirahatan Dewa Kekeringan. Si pertapa lalu kesal dengan kelakuan rajanya. Dia lantas meninggalkan negerinya yang sejak itu dilanda kekeringan. Untuk menebus kesalahan, raja lalu berpuasa selama 40 hari 40 malam. Di akhir puasanya, hujan pun turun dan itu dipercaya sebagai awal dari kemakmuran.

Adat Istiadat dalam perayaan Cap Go Meh di Indonesia

Menyaksikan lampion dan makan onde-onde adalah dua bagian penting pada hari raya Cap Go Meh. Selain itu ada beberapa adapt istiadat lainnya yang merupakan rangkaian acara yang tidak terpisahkan dari zaman China kuno. Antara lain :

1.Acara pawai menggotong joli Toapekong untuk diarak keluar dari Kelenteng. Toapekong (Hakka = Taipakkung, Mandarin = Dabogong) berarti secara harfiah eyang buyut untuk makna kiasan bagi dewa yang pada umumnya merupakan seorang kakek yang sudah tua. "Da Bo Gong" ini sebenarnya adalah sebutan untuk para leluhur yang merantau atau para pioner dalam mengembangkan komunitas Tionghoa. Jadi istilah Da Bo Gong itu sendiri tidak dikenal di Tiongkok.

2.Lontong opor lengkap (Lontong Cap Go Meh) dengan sambal goreng dan sate abing. Sejatinya, lontong opor dan hidangan pelengkapnya bukanlah masakan khas masyarakat tionghoa. Hidangan ayam yang dimasak dengan santan kelapa ini adalah masakan khas Jawa yang diadopsi oleh masyarakat tionghoa sebagai hidangan perayaan Cap Go Meh. Biasanya ayam opor disajikan untuk melengkapi lontong dan dipadukan dengan sambal goreng dan sate abing. Sate abing ini dipercaya juga khas Semarang, rasanya manis dan gurih. Diatas piring berisi lontong yang sudah lengkap dengan ayam opor, sambal goreng dan sate abing, ditaburkan bubuk kedelai manis sebagai bumbunya.

3.Pawai Cap go meh ini di iringi oleh para pemain musik „Tanjidor" yang menggunakan instrument musik trompet, tambur dan bajidor (Bedug). Orkes ini sudah dikenal sejak abad ke 18. Konon Valckenier gubenur Belanda pada saat itu sudah memiliki rombongan orkes tanjidor yang terdiri dari 15 orang pemain musik. Tanjidor biasanya hanya dimainkan oleh para budak2, oleh sebab itulah musik Tanjidor ini juga sering disebut sebagai „Sklaven Orkest".

4.Tarian barongsay atau tarian singa biasanya disebut "Nong Shi".
Sedangkan nama "barongsai" adalah gabungan dari kata Barong dalam bahasa Jawa dan Sai = Singa dalam bahasa dialek Hokkian. Singa menurut orang Tionghoa ini melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan.

Ada dua macam jenis macam tarian barongsay yang satu lebih dikenal sebagai Singa Utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk, sedangkan Singa Selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda naga yang bertanduk).

Seperti layaknya binatang lainnya juga, maka barongsai juga harus diberi makan berupa Angpau yang ditempeli dengan sayuran selada air yang lazim disebut "Lay See". Untuk melakukan tarian makan laysee (Chai Qing) ini para pemain harus mampu melakukan loncatan tinggi, sehingga ketika dahulu para pemain barongsai, hanya dimainkan oleh orang2 yang memiliki kemampuan silat - "Hokkian = kun tao" yang berasal dari bahasa Mandarin Quan Dao (Kepala kepalan atau tinju), tetapi sekarang lebih dikenal dengan kata Wu Shu, padahal artinya Wu Shu sendiri itu adalah seni menghentikan kekerasan.

Didepan barongsai selalu terdapat seorang penari lainnya yang menggunakan topeng sambil membawa kipas. Biasanya disebut Shi Zi Lang dan penari inilah yang menggiring barongsai untuk meloncat atau bermain atraksi serta memetik sayuran. Sedangkan penari dengan topeng Buddha tertawa disebut Xiao Mian Fo.

Pada awalnya tarian barongsai ini tidak pernah dikaitkan dengan ritual keagamaan manapun juga, tetapi akhirnya karena rakyat percaya, bahwa barongsai itu dapat mengusir hawa2 buruk dan roh2 jahat. Jadi budaya atau kepercayaan rakyat itulah yang akhirnya dimanfaatkan atau bersinergi dengan lembaga keagamaan.

Walaupun demikian pada saat sekarang ini sudah ada aliran modern lainnya yang tidak mengkaitkan dengan upacara keagamaan sama sekali, karena mereka menilai barongsai hanya sekedar asesories untuk nari atau media entertainment saja, seperti juga halnya dengan payung untuk tari payung, atau topeng dalam tarian topeng.

Barongsai sebenarnya sudah populer sejak zaman periode tiga kerajaan (Wu, Wei & Shu Han) th 220 - 280 M.

Pada saat itu ketika raja Song Wen sedang kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah Raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Panglimanya yang bernama Zhing Que mempunyai ide yang jenius dengan membuat boneka2 singa tiruan untuk mengusir pasukan raja Fan. Ternyata usahanya itu berhasil sehingga sejak saat ini mulailah melegenda tarian barongsai tersebut hingga kini.

5.Tarian Naga

Tarian naga (liong) disebut "Nong Long". Binatang mitologi ini selalu digambarkan memiliki kepala unta, bertaring serigala dan bertanduk menjangan.

Naga di Cina dianggap sebagai dewa pelindung, yang bisa memberikan rejeki, kekuatan, kesuburan dan juga air. Air di Cina merupakan lambang rejeki, karena kebanyakan dari mereka hidup dari bercocok tanam, maka dari itu mereka sangat menggantungkan hidupnya dari air. Semua kaisar di Cina menggunakan lambang naga, maka dari itu mereka duduk di singgasana naga, tempat tidur naga, dan memakai pakaian kemahkotaan naga. Orang Cina akan merasa bahagia apabila mendapatkan seorang putera yang lahir di th naga.

Kita bisa melihat apakah ini naga lambang dari seorang kaisar ataukah bukan dari jumlah jari di cakarnya. Hanya kaisar yang boleh menggunakan gambar naga dengan lima jari di cakarnya, sedangkan untuk para pejabat lainnya hanya 4 jari. Bagi rakyat biasa yang menggunakan lambang naga cakarnya hanya boleh memiliki 3 jari saja. Naga itu memiliki tiga macam warna, hijau, biru dan merah, dari warna naga tsb kita bisa melihat kesaktiannya. Naga warna kuning adalah naga yang melambangkan raja.

Pada umumnya untuk tarian naga ini dibuatkan naga yang panjangnya sekitar 35 m dan dibagi dalam 9 bagian, tetapi ketika mereka menyambut th baru millennium di China pernah dibuat naga yang panjangnya 3.500 meter dan dimainkannya di atas Tembok Besar China.

Naga tidak selalu dihormati, sebab apabila ada musim kemarau berkepanjangan, maka para petani mengadakan upacara menjemur naga yang dibuat dari tanah liat untuk membalas dendam atau mendemo sang Naga yang tidak mau menurukan hujan, se-akan2 kaum tani tersrbut ingin menyatakan "Rasain Lo kering dan panasnya musim kemarau ini!"

6.Lampion berwarna yang dipasang pada Festival Cap Go Meh kebanyakan dibuat dari kertas berwarna terang. Lampion bernama “zoumadeng” atau lampion kuda berlari adalah salah satu macam lampion yan paling menarik. Konon lampion itu sudah bersejarah seribu tahun lamanya.
Anda mungkin mengetahui bahwa pada beberapa lentera terdapat tulisan. Itu adalah Teka-Teki pada Lentera, juga dinamakan Singa Lentera karena menjawab teka-teki yang ada sama susahnya dengan menembak singa.

7.Makan onde-onde pada hari raya Cap Go Meh juga merupakan salah satu kebiasaan lama. Kebiasaan makan onde-onde dimulai dari masa Dinasti Song (tahun 960-tahun 1279 Masehi). Onde-onde dibuat dengan tepung beras ketan dan selai buah. Setelah dimasak, rasanya lezat sekali. Pada kemudian hari, rakyat di bagian utara menyebut makanan itu sebagai “yuanxiao” dan rakyat di selatan menyebutnya sebagai “tangyuan”, dan pembuatannya pun berlainan dari utara ke selatan.

8.Kegiatan hiburan lainnya, seperti jangkungan, tari yangge (semacam tari khas di bagian utara Tiongkok)

Sumber Penulisan

-http://www.gangbaru.com/index.php?option=com_content&task=view&id=114&Itemid=1
-http://www.tionghoa.com/62/perayaan-lentera/
-Gevin Menzies: 1421 The Year China Discovered The World, Bantam Press 2003.
-Remy Sylado: Sam Po Kong, Gramedia Pustaka Utama 2004.
-Liem Thian Joe: Riwayat Semarang, Hasta Wahana 2004.

Senin, 01 Februari 2010

King Thi Kong

Beribu tahun sebelum Masehi, masyarakat tionghoa sudah mengenal adanya Tuhan. Kaisar Kuning (Oey Tee / Huang Ti) pada tahun 4697SM mengajarkan kepada rakyatnya nilai - nilai budaya yang tinggi, diantaranya adalah bersembahyang kepada Tuhan, menghormati Roh Suci dan memuliakan para leluhur. Masyarakat kuno yang sederhana dengan taat menjalankannya. Ritual ini disempurnakan oleh Pangeran Zhougong dan para nabi berikutnya.

Setiap tanggal 9 bulan 1 Imlek orang Tionghoa terutama orang Hok Kian, melakukan upacara sembahyang Jing Tian Gong {Hok Kian = King Thi Kong}, yang berarti sembahyang kepada Tuhan YME. Di kalangan orang Tionghoa di Indonesia, sembahyang ini dikenal dengan sebutan Sembahyang Tuhan Allah yang dilakukan dengan penuh kekhidmatan. Upacara sembahyang ini termasuk salah satu rangkaian upacara pada pesta menyambut Tahun Baru Imlek / Musim Semi yang berlangsung selama 15 hari; dari tanggal 1 s/d 15 bulan 1 penanggalan Imlek.

Di Propinsi Fu Jian {Hok Kian} & Taiwan muncul istilah yang sangat populer, yaitu Chu Jiu Tian Gong Sheng , yang berarti bahwa pada Cia Gwe Cwe Kao (Tanggal 9 bulan pertama Imlek) adalah Hari Ulang Tahun Thi Kong. Sehingga masyarakat di propinsi Hok Kian & Taiwan mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong (Tuhan YME). Upacara King Thi Kong ini juga telah menyebar di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Biasanya yang menjalankan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang makanan berjiwa atau vegetarian sejak beberapa hari sebelumnya. Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan batin.

Penduduk yang miskin cukup menempatkan sebuah Hiolo (pedupaan = tempat menancapkan dupa) kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan hio (dupa) dari pagi sampai tengah malam secara kontinue.

Bagi orang berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah & khidmat. Sebuah meja besar dengan keempat kakinya diletakkan di atas 2 buah bangku panjang. Lalu di atas meja tersebut diatur 3 buah Shen Wei(Tempat Dewa) yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling dilekatkan. Kemudian di depan Shen Wei dijajarkan 3 buah cawan kecil yang berisi teh, & 3 buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat dengan kertas merah. Setelah itu Wu Guo Liu Cai {Hok Kian = Go Ko Lak Chai} diatur di bagian depan. Wu Guo Liu Cai berarti 5 macam buah-buahan & 6 macam masakan vegetarian, ini menjadi dasar utama dalam penataan barang sajian upacara sembahyang orang Tionghoa. Di bagian paling depan (sebelah kiri & kanan) dipasang lilin 1 pasang (= 2 batang).

Sehari sebelum upacara sembahyang (Cia Gwe Cwe Pe = Tanggal 8 bulan 1 Imlek) dimulai, seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas & ganti baju. Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam, dimulai dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya. Semua melakukan San Gui Jiu Kou {Hok Kian = Sam Kwi Kiu Kho} yaitu 3 X berlutut & 9 X menyentuhkan kepala ke tanah. Setelah selesai baru kemudian kertas emas yang dibuat khusus lalu dibakar bersama dengan Shen Wei yang terbuat dari kertas warna-warni. Kemudian dinyalakan petasan untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring. Upacara sembahyang King Thi Kong ini di kalangan Hoa Qiao Indonesia dikenal dengan sebutan “Sembahyang Tuhan Allah”.

Ritual di Indonesia, umumnya dilaksanakan dengan mendirikan meja tinggi didepan pintu menghadap langit, bersembahyang mengucap syukur kepada Yang Kuasa, berjanji untuk hidup lebih baik terhadap sesama dan memenuh kewajiban sebagai mahluk ciptaanNya. Dipilih tanggal 9 bulan 1 adalah karena angka 1 berarti esa dan angka 9 adalah yang tertinggi.

Altar Langit (Tian Tan)

Altar ini terletak di timur laut kota Beijing, membujur dari utara ke selatan, merupakan tempat kaisar - kaisar dari Dinasti Ming (1389 - 1644) dan Qing (1644 - 1912) melakukan ritual King Thi Kong. Altar tersebut didirikan pada tahun 1420 diatas tanah seluas 273 hektar. Kompleks Altar Langit dikelilingi taman luas, berbentuk lingkaran bersusun tiga seperti kue tart sehingga dinamakan juga Altar Bukit Bundar, tidak beratap dan tiap lingkaran dihubungkan dengan tangga yang batuannya terdiri dari 9 tangga. Semuanya terbuat dari batu granit putih dan diempat penjuru terdapat tiga gerbang yang indah. Orang - orang menyebutnya Kuil Surgawi, terbuat dari batu granit putih dengan genting berlapis warna biru, biru langit dan putih awan seperti warna - warna yang ada di langit.

Kaisar bersembahyang ditempat tersebut diiringi oleh sekitar 3000 peserta upacara, membawa semua atribut kerajaan dengan naik tandu diiringi kereta kuda, gajah dan sebagainya dalam formasi yang harmonis, berangkat dari Istana Terlarang (Forbidden Palace). Tepat ditengah malam ritual dimulai hanya dengan diterangi cahaya obor, bulan dan bintang. Doa - doa dilantunkan hingga menjelang fajar.

Altar Langit atau Tian Tan biarpun sudah berusia berabad - abad, hingga sekarang masih terawat dengan sangat baik. Jika anda berkesempatan mengunjungi Beijing, jangan lupa untuk menikmati keindahan dan keagungannya.

Versi Lain

Tidak jelas kapan masyarakat propinsi Hok Kian & Taiwan memulai King Thi Kong ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa King Thi Kong baru mulai diadakan pada masa awal Dinasti Qing [1644 - 1911].

Seperti diketahui bahwa Hok Kian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia kepada Dinasti Ming [1368 – 1644]. Pada waktu pasukan Qing (Man Zhu) memasuki Hok Kian, mereka berhadapan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat & sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan ditaklukkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Hok Kian dapat dikuasai oleh pihak Qing.

Selama terjadinya peperangan & kekacauan ini, banyak rakyat yang bersembunyi di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itulah mereka melewati malam & hari Tahun Baru Imlek. Setelah keadaan aman, pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan 1 Imlek) pagi mereka berbondong-bondong keluar & kembali ke rumah masing-masing. Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana maut akibat perang, mereka lalu mengadakan upacara sembahyang King Thi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena ini, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Baru-nya orang Hok Kian, sedikitpun tidak salah.

Selain upacara King Thi Kong, pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini bertepatan pula dengan Hari Kelahiran Maha Dewa Yu Huang Shang Di {Hok Kian = Giok Hong Siong Tee = Maha Dewa Kumala Raja}, yaitu Dewata Tertinggi yang melaksanakan pemerintahan alam semesta dan dibantu oleh para dewata lain.
Karena 2 hal yang bertepatan inilah maka orang Tionghoa menganggap Giok Hong Siong Tee sebagai penitisan dari Tian (Tuhan YME).
Cap It Gwe Cwe Lak (tanggal 6 bulan 11 Imlek) adalah Hari Giok Hong Siong Tee mencapai kesempurnaan.

Dari cerita di atas, jelaslah bahwa orang Tionghoa percaya kepada Tuhan YME (God the Almighty) yang disebutkan sebagai Tian atau Tian Gong {Thi Kong}, hanya saja konsepsinya berbeda dengan agama lain. Bagi umat Tionghoa, Tuhan memiliki pembantu-pembantu yang terdiri dari berbagai dewa yang mempunyai jabatan & wilayah tertentu, & berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan & wilayah masing-masing.

Sumber Tulisan :
1. http://www.gangbaru.com/
2. http://jindeyuan.org/asal-mula-king-thi-kong/index.htm

Asal usul tradisi memberikan angpao sewaktu menyambut tahun baru Imlek


Sejak lama, warna merah melambangkan kebaikan dan kesejahteraan di dalam kebudayaan Tionghoa. Warna merah menunjukkan kegembiraan, semangat yang pada akhirnya akan membawa nasib baik.

Angpao sendiri adalah dialek Hokkian, arti harfiahnya adalah bungkusan/amplop merah. Sebenarnya, tradisi memberikan angpao sendiri bukan hanya monopoli tahun baru Imlek, melainkan di dalam peristiwa apa saja yang melambangkan kegembiraan seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-lain, angpao juga akan ditemukan.

Angpao pada tahun baru Imlek mempunyai istilah khusus yaitu "Ya Sui", yang artinya hadiah yang diberikan untuk anak2 berkaitan dengan pertambahan umur/pergantian tahun. Di zaman dulu, hadiah ini biasanya berupa manisan, bonbon dan makanan. Untuk selanjutnya, karena perkembangan zaman, orang tua merasa lebih mudah memberikan uang dan membiarkan anak2 memutuskan hadiah apa yang akan mereka beli.

Tradisi memberikan uang sebagai hadiah Ya Sui ini muncul sekitar zaman Ming dan Qing. Dalam satu literatur mengenai Ya Sui Qian dituliskan bahwa anak-anak menggunakan uang untuk membeli petasan, manisan. Tindakan ini juga meningkatkan peredaran uang dan perputaran roda ekonomi di Tiongkok di zaman tersebut.

Bagaimana bentuknya angpao di zaman dulu


Uang kertas pertama kali digunakan di Tiongkok pada zaman Dinasti Song, namun baru benar2 resmi digunakan secara luas di zaman Dinasti Ming. Walaupun telah ada uang kertas, namun karena uang kertas nominalnya biasanya sangat besar sehingga jarang digunakan sebagai hadiah Ya Sui kepada anak2.

Di zaman dulu, karena nominal terkecil uang yang beredar di Tiongkok adalah keping perunggu (wen atau tongbao). Keping perunggu ini biasanya berlubang segi empat di tengahnya. Bagian tengah ini diikatkan menjadi untaian uang dengan tali merah. Keluarga kaya biasanya mengikatkan 100 keping perunggu buat Ya Sui orang tua mereka dengan harapan mereka akan berumur panjang.

Jadi, dari sini dapat kita ketahui bahwa bungkusan kertas merah (angpao) yang berisikan uang belum populer di zaman dulu.

Makna Pemberian angpao

Orang Tionghoa menitik beratkan banyak masalah pada simbol-simbol, demikian pula halnya dengan tradisi Ya Sui ini. Sui dalam Ya Sui berarti umur, mempunyai lafal yang sama dengan karakter Sui yang lain yang berarti bencana. Jadi, Ya Sui bisa disimbolkan sebagai "mengusir/meminimalkan bencana" dengan harapan anak2 yang mendapat hadiah Ya Sui akan melewati 1 tahun ke depan yang aman tenteram tanpa halangan berarti.

Yang wajib memberikan angpao dan berhak menerima angpao


Di dalam tradisi Tionghoa, orang yang wajib dan berhak memberikan angpao biasanya adalah orang yang telah menikah, karena pernikahan dianggap merupakan batas antara masa kanak2 dan dewasa. Selain itu, ada anggapan bahwa orang yang telah menikah biasanya telah mapan secara ekonomi. Selain memberikan angpao kepada anak2, mereka juga wajib memberikan angpao kepada yang dituakan.

Bagi yang belum menikah, tetap berhak menerima angpao walaupun secara umur, seseorang itu sudah termasuk dewasa. Ini dilakukan dengan harapan angpao dari orang yang telah menikah akan memberikan nasib baik kepada orang tersebut, dalam hal ini tentunya jodoh. Bila seseorang yang belum menikah ingin memberikan angpao, sebaiknya cuma memberikan uang tanpa amplop merah.

Namun tradisi di atas tidak mengikat. Sekarang ini, pemberikan angpao tentunya lebih didasarkan pada kemapanan secara ekonomi, lagipula makna angpao bukan sekedar terbatas berapa besar uang yang ada di dalamnya melainkan lebih jauh adalah bermakna senasib sepenanggungan, saling mengucapkan dan memberikan harapan baik untuk 1 tahun ke depan kepada orang yang menerima angpao tadi.

Sumber Tulisan :
1. Sejarah Panjang Tahun Baru Imlek, Kim Tek Ie
2. http://jindeyuan.org/sejarah-panjang-tahun-baru-imlek/index.htm
3. Walter, Derek. The Complete Guide to Chinese Astrology: The Most Comprehensive
Study of the Subject Ever Published in the English Language, Watkin Publishing,
London, 2002
4. Berdasarkan penuturan turun temurun masyarakat Tionghoa Gorontalo

Imlek ( Festival Musim Semi)


Bagi kebanyakan orang Tionghoa Indonesia, Imlek adalah saat menggunakan warna merah, tanda kebahagiaan, sembahyang dan yang paling menarik adalah menerima angpau.

Hal ini tidak heran, karena bagi para generasi muda, pengertian dari Imlek sendiri sudah memudar.

Kita mengenal berbagai sistem penanggalan. (Gong Li / Yang Li) Kalender Masehi yang menggunakan Sistem Gregorian / Tata Surya / Solar / Matahari, yang dihitung berdasarkan lamanya peredaran bumi mengelilingi matahari selama 365,25 hari. Tahun pertamanya berdasarkan pada tahun kelahiran Nabi Yesus Kristus. Kalender Islam yang menggunakan Sistem Lunar, yang berdasarkan pada masa orbit bulan mengelilingi bumi selama 354 hari, atau selisih 11 hari dibandingkan sistem solar. Tahun pertamanya dihitung sejak Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Medinah.

Sedangkan Yin Li {Hok Kian = Im Lek = Kalender Imlek} merupakan perpaduan kedua sistem Matahari & Bulan sekaligus. Perhitungan hari per-bulannya mengacu pada sistem lunar. Namun selisih 11 hari per tahun disesuaikan dengan sistem matahari melalui Run Yue {Hok Kian = Lun Gwe = mekanisme penyisipan bulan ketiga belas sebanyak 7 (tujuh) kali dalam kurun waktu 19 tahun}. Koreksi atau penyisipan ini membuat jatuhnya awal Tahun Baru Imlek selalu berada dalam rentang waktu antara 21 Januari – 19 Februari, tidak bergeser maju ataupun mundur.
Melalui mekanisme Lun Gwe ini, maka pada tahun-tahun tertentu, Kalender Imlek kadang memiliki bulan ganda. Misal tahun 2009 ada Lun Go Gwe (2x bulan Lima). Dengan adanya penyesuaian ini maka Kalender Imlek lebih tepat disebut Kalender Yin Yang Li {Im Yang Lek / Sistem Lunisolar}.

Selain itu penanggalan Imlek masih dilengkapi beberapa unsur yang mempengaruhi, yaitu : 5 unsur, 12 Shio, 24 Jie Qi (pembagian 24 musim yang amat erat hubungannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada alam, yang terbukti amat berguna bagi pertanian dalam menentukan saat tanam maupun saat panen), 60 Hua Jia (60 konsep penggabungan Tian Gan & Di Zi). Walaupun demikian, semua perhitungan ini dapat terangkum dengan baik menjadi satu sistem “Penanggalan Tionghoa” yang Lengkap & Harmonis, bahkan hampir bisa dikatakan Sempurna karena sudah mencakup “Koreksi” -nya juga, sebagai contoh adalah Lun Gwe.

Penanggalan Tionghoa telah ada sejak zaman Kaisar Huang Di [2.696 – 2.598 SM]. Tapi baru digunakan secara resmi oleh Dinasti Xia [2.205 – 1.766 SM], yaitu 4.213 tahun yang lalu

Pada tanggal 14 Februari 2010 ini kita merayakan Tahun Baru Imlek yang ke 2561. Lalu dari mana angka 2.561 ini? Ini dihitung dari kelahiran Nabi Kong Zi {Hok Kian = Khong Cu} atau Confusius yang lahir pada tahun 551 SM.

Jadi tahun 2010 ini berarti tahun 551 + 2010 = 2561 Imlek. Karena awal tahunnya dimulai dari awal kelahiran Nabi Kong Zi, maka kalender Imlek disebut juga Khong Cu Lek. Namun bukan berarti usia Kalender Imlek sama dengan usia Kong Hu Cu. Pada kenyataannya, Penanggalan Imlek telah digunakan jauh sebelumnya, tepatnya sejak zaman Kaisar Huang Di, yaitu pada tahun 2.696 SM. Dengan demikian Kalender Imlek telah berusia 4.704 tahun.

Banyak dan sering sekali timbul pertanyaan, mengapa tahun pertama penanggalan Imlek dihitung sejak kelahiran Nabi Kong Zi ?

Sejarahnya amat panjang. Kalender Imlek secara resmi digunakan oleh Dinasti Xia [2.205 – 1.766 SM]. Dinasti Xia hanya berkuasa sampai 1.766 SM, dan kemudian digantikan oleh Dinasti Shang [1.766 – 1.122 SM].

Pada masa Dinasti Shang, kalender Imlek yang kita kenal sekarang, dimodifikasi dengan dimajukan penentuan awal tahun barunya sekitar satu bulan. Akibatnya awal tahun baru yang semula jatuh di awal musim semi, bergeser ke musim dingin. Demikian pula dengan perhitungan awal tahunnya, dihitung sejak dinasti Shang berkuasa.

Ketika dinasti Shang digantikan dengan dinasti Zhou [1.122 – 255 SM], perhitungan awal tahun barunya dimajukan lagi, bertepatan dengan Dong Zi, puncak musim dingin sekitar 22 Desember, tepat ketika matahari berada di 23,5o Lintang Selatan. Perhitungan awal tahunnya dimulai sejak berdirinya Dinasti Zhou.

Nabi Kong Zi, Confusius [551 – 479 SM] hidup pada masa dinasti Zhou. Kong Zi pernah mengingatkan bahwa sebuah sistem penanggalan seharusnya dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan orang banyak. Kalender yang baik harus bisa dijadikan Pedoman bagi rakyat yang menggunakannya.

Sementara Kalender Dinasti Zhou yang digunakan semasa Kong Zi hidup, dirasakan amat tidak cocok untuk digunakan sebagai panduan bagi rakyat yang mayoritas hidup dari sektor pertanian, karena penentuan awal tahun barunya bertepatan dengan musim dingin. Bila tahun baru jatuh di musim dingin, sulit dijadikan pedoman bagi rakyat untuk mulai kerja baru.

Atas dasar pemikiran ini, Kong Zi menyarankan kepada Kaisar Zhou agar kembali menggunakan Kalender Dinasti Xia, di mana awal tahun baru bertepatan dengan awal musim semi, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi rakyat yang mayoritas petani untuk mulai kerja baru. Namun usulan Kong Zi ini tidak ditanggapi penguasa Zhou pada waktu itu.

Ketika dinasti Zhou digantikan oleh dinasti 秦 Qin [255 SM – 202 SM], nasehat Kong Zi pun tetap diabaikan. Kaisar waktu itu tetap mengikuti tradisi sebelumnya, berupaya memperkuat legitimasi kekuasaan dengan berbagai cara, di antaranya dengan membuat kalender baru. Soal apakah kalender tersebut cocok atau tidak dengan kebutuhan rakyatnya, kurang diperhatikan.
Jadi ketika dinasti Shang diganti dengan dinasti Zhou, dan kemudian diganti dengan dinasti Qin, sistem penanggalan yang digunakan juga terus digonta-ganti, sesuai keinginan sang penguasa.

Dinasti Qin tidak berumur panjang, digantikan oleh Dinasti Han [202 SM – 206 M] yang didirikan oleh Lu Bang. Kaisar pertama ini tidak sempat memikirkan penggantian kalender. Baru pada saat 漢武帝 Han Wu Di [140 SM – 86 SM] berkuasa, ia menuruti fatwa Nabi Kong Zi & mengumumkan berlakunya kembali Kalender Xia. Sebagai penghormatan kepada Nabi Kong Zi, penentuan perhitungan awal tahun Kalender Xia (penetapan tahun ke-1 Kalender Imlek), dihitung sejak tahun kelahiran Nabi Kong Zi, 551 SM.

Kebijakan Han Wu Di ini ternyata lebih abadi, terbukti kaisar sesudahnya, baik dari Dinasti Han maupun dinasti sesudahnya, tetap menggunakan Kalender Xia. Jadi walaupun kaisar berganti kaisar, dinasti berganti dinasti, tidak terjadi lagi pergantian penanggalan. Semuanya menggunakan kalender peninggalan Dinasti Xia, dengan awal tahun yang mengacu pada tahun kelahiran Nabi Kong Zi. Tidak sampai di situ saja, pada masa Dinasti Han, agama Khong Hu Cu pun kemudian ditetapkan sebagai agama negara, bahkan sampai Dinasti Qing. Ajaran Nabi Kong Zi juga menjadi pedoman utama bagi mereka yang ingin meraih gelar pendidikan tinggi.

Penanggalan Imlek cocok digunakan sebagai pedoman masyarakat yang mayoritas hidup dari pertanian, sehingga sering disebut Nong Li (Kalender Petani). Banyak juga yang menyebut Kalender Kong Zi {Khong Cu Lek}, sehingga tahun barunya disebut Tahun Baru Khong Zi. Sebutan ini lazim digunakan di kalangan umat agama Khong Hu Cu di Indonesia, maupun di beberapa negara yang masyarakatnya banyak menganut agama Khong Hu Cu.

Walaupun demikian, Perayaan Tahun Baru Imlek bukan hanya perayaan umat Khong Hu Cu saja. Pada kenyataannya, Perayaan Tahun Baru Imlek terutama diperingati juga oleh penganut agama Buddha & Taoisme, dan juga orang Tionghoa di seluruh dunia. Selain itu, pada Cia Gwe Ce It (tanggal 1 bulan 1 Imlek) ini umat Buddha juga memperingati hari lahirnya Mi Le Gu Fo {Bi Lek Ko Hud = Buddha Maitreya}.
Hari itu juga adalah perayaan untuk menyambut musim semi yang baru di Cina dan merupakan awal untuk melakukan kembali kegiatan pertanian.

Persiapan perayaan imlek berlangsung beberapa hari sebelum hari H. Dimulai dengan acara membersihkan rumah. Mereka percaya, dewa kekayaan Chai Shen hanya mau mendatangi rumah yang bersih. Saat tahun baru tiba, rumah sudah harus dalam keadaan bersih agar rejeki mengalir lancar. Selama tiga hari, terhitung dari tahun baru dan dua hari sesudahnya, ada larangan memegang sapu, alias menyapu. Dipercaya, dewa kekayaan bersembunyi dibalik debu. Jadi, kalau menyapu dikhawatirkan sang dewa akan ikut terbuang.

Asal-Usul Kegiatan bersih-bersih di tanggal 24 bulan 12 Lunar
(Seminggu sebelum Imlek)

Alkisah, seorang dewa bernama Dewa Tiga Mayat (San Shi Shen) ingin menjadi pahlawan bagi manusia dengan cara licik. Ia menjelek-jelekkan manusia di hadapan Mahadewa Tertinggi ( Yuhuan Dadi). Dalam waktu singkat Mahadewa menerima 99.999 laporan tentang rencana manusia berontak melawannya. Mahadewa marah bukan kepalang, memerintahkan Dewa Tiga Mayat memberi tanda khusus pada dinding rumah si manusia pemberontak, juga menyuruh laba-laba membuat jaring yang amat besar di langit-langit rumah. Saking marah, ia pun menyuruh Dewa Pencabut Nyawa ( Lingshenggong) turun ke bumi di malam tahun baru untuk membunuh orang yang rumahnya sudah ditandai oleh Dewa Tiga Mayat!

Dewa Tiga Mayat, tanpa buang waktu, cepat-cepat terbang ke bumi menuju rumah yang sudah ditandainya guna "menyelamatkan manusia". Dengan demikian, dia akan dipandang manusia sebagai dewa terbaik. Tak disangka, pimpinan dewa dapur mengetahui rencana busuknya. Si Pimpinan cepat-cepat pergi ke Dewa Dapur di setiap rumah mencari akal bagaimana menghalangi niat busuk Dewa Tiga Mayat. Akhirnya mereka sepakat menghapus bersih semua tanda yang dibuat Dewa Tiga Mayat.

Kagetlah ketika Dewa Pencabut Nyawa tiba di bumi, ia tidak menemukan apa pun di rumah manusia. Rencananya gagal total. Malah begitu akal liciknya terbongkar, Dewa Tiga Mayat pun dihukum kurungan di langit. Sebaliknya, Dewa Dapur menjadi pahlawan. Itulah asal-usul ada hari khusus membersihkan rumah sebelum Tahun Baru.

Sumber Tulisan :
1. Sejarah Panjang Tahun Baru Imlek, Kim Tek Ie
2. http://jindeyuan.org/sejarah-panjang-tahun-baru-imlek/index.htm
3. Walter, Derek. The Complete Guide to Chinese Astrology: The Most Comprehensive
Study of the Subject Ever Published in the English Language, Watkin Publishing,
London, 2002
4. Berdasarkan penuturan turun temurun masyarakat Tionghoa Gorontalo

Toa Pek Kong Naik Ke Langit

Ritual perayaan Tahun Baru Imlek bagi masyarakat tionghoa terdiri dari empat kegiatan utama, diawali oleh ritual menghantar Dewa Dapur naik kelangit seminggu sebelum tahun baru. Beberapa hari sebelum tahun baru, dewa dapur akan pergi ke langit untuk melaporkan catatan kehidupan orang-orang di bumi, apakah mereka berbuat baik atau tidak.

“Ditanggal 24 bulan ke-12 Dewa dapur akan naik ke surga membawa laporan-Nya. Berkendaraan awan yang ditiup oleh angin, Ia menikmati makanan dan minuman yang berlimpah, ikan segar dan kepala babi yang dimasak dengan baik…..
Jangan menybutkan hal-hal yang tidak baik dalam laporan-Mu, dan bawalah keberkahan dan keberuntungan saat Engkau kembali”


Demikian penggalan sebuah puisi mengenai persembahan/persembahyangan bagi Dewa Dapur yang ditulis oleh seorang sastrawan dari dinasti Song.

Bagi masyarakat Tionghoa, sembahyang dilakukan pada tanggal 24 dibulan ke-12 untuk menghantarkan Toa Pek Kong naik ke langit dan pada tanggal 3 di bulan-1 kembali diadakan persembahyangan untuk menyambut Toa Pek Kong yang turun dari langit.

Yang dimaksud dengan Toa Pek Kong adalah Dewa Dapur, yang kita kenal denga Zau Jun Ye/Zao Jun Gong (Mandarin) atau Ciau Kun Ye/Ciao Kun Kong (Hokkian).

Diyakini bahwa Ciao Kun Kong akan naik dengan membawa laporan perilaku keluarga berikut anggota keluarga, baik buruknya, kehadapan Giok Hong Siang Te. Bila berkelakuan tidak baik, maka tiada berkah namun hukuman yang diterima.sementara bila berkelakuan baik, maka berkah kebahagiaan melimpah ditahun yang baru yang akan dibawa serta saat Dewa Dapur kembali.

Dewa Dapur sangat dipuja sebagai pelindung rmah tangga dan dewa pemberi berkah bagi keluarga. Disebutkan bahwa pemujaan sudah ada sejak Zaman Dinasti Zhou sekitar 2000 tahun yang lalu. Pemujaan dilakukn hampir disetiap rumah, sehingga tidak dibangun di klenteng. Ataupun kalau ada, maka diletakkan juga paa daerah dapur. Karena itu, untuk simbolisasi keberadaan lebih umum berupa Gambar daripada Patung/Arca.

Persembahan yang dilakukan dalam persembahyangan pun berbeda dan berkembang. Semisal di zaman Dinasti T’ang ada yang menyebutkan arak sebagai persembahan. Namun ada pula yang menyebutkan hanya menggunakan The dan 3 batang Hio.

Didalam puisi diatas, biasa terlihat dengan menggunakan persembahan berupa makanan, minuman dan uang kertas. Gula ataupun makanan manis yang dikatakan untuk “menyogok” Dewa Dapur agar hanya akan mengatakan hal yang baik-baik baru mulai menjadi persembahan di Zaman Dinasti Ching.

Selain persembahan, di persembahyangan Toa Pek Kong naik ke langit, gambar Dewa Dapur akan diletakkan ditengah altar, dengan diapit kertas merah yang bersyair. Kurang lebih dapat diartikan dengan :

“Paduka Zao Jun yang mulia, Sebutlah kebaikan kami dilangit,
Bawalah berkah bagi kami apabila Anda turun kembali”


Setelah persembahyangan ini, membersihkan altar ataupun persembahyangan lain dilakukan.

Bagaimana asal mula kepercayaan Dewa Dapur?

Banyak sekali versi yang ada. Namun jarang selalu yang langsung terkait dengan dapur. Namun lebih pada makanan ataupun kesetiaan dalam keluarga. Sebagai contoh kisah sepasang suami istri yang kelaparan dan akhirnya dengan berat hati melepaskan istrinya untuk menjadi istri muda seorang hartawan. Saat ada pembagian makanan oleh si hartawan tersebut, Zhang sang suami, berada dalam urutan terakhir sehingga tidak kebagian makanan. Ketika keesokan harinya sang istri memulai pembagian makanan dan diatur mulai dari belakang, ternyata Zhang berada diurutan paling depan, dan kemudian ketika diatur mulai dari tengah, Zhang sudah tiada karena terlalu lapar.
Istri Zhang kemudian bunuh diri karena rasa setianya, dan oleh Giok Hong Siang Te, keduanya diangkat menjadi Dewa dan Dewi Dapur.

Versi lain menyebutkan bahwa Kaisar Huang Di adalah penemu tungku sehingga kemudian diangkat menjadi Dewa Dapur. Dan masih banyak lagi versi yang ada sehingga siapa sebenarnya Ciao Kun Kong masih menjadi perdebatan ahli sejarah.

Permen untuk Dewa Dapur

Bubur laba dibuat dari beras, kacang-kacangan, buah zao. Buah lonjong berbiji ini lebih besar dari biji rambutan. Kulitnya merah tua dengan daging putihnya yang manis. Dengan yang lain-lain jumlah jenis isi bubur ini mencapai + 10 macam. Tapi, itu bukan harga mati. Bagi keluarga kurang mampu, beras dan buah zao merah saja cukup.

Pada tanggal 23 ada upacara penting karena dipercaya Dewa Dapur akan naik ke surga. Hari itu sang Dewa akan melaporkan semua kejadian selama satu tahun di setiap keluarga kepada Tian. Manusia pun mencari akal agar Tian tidak marah. Caranya, hari itu sang Dewa disuguhi permen yang amat lengket dan manis, namanya guandongtang (baca: kuan tung tang). Setelah makan permen itu, mulut sang Dewa yang terasa manis, diharapkan cuma melaporkan hal yang bagus-bagus.

Menurut versi lain, mulut sang Dewa terkancing akibat makan permen yang amat lengket. Makanya, ia cuma bisa senyam-senyum di depan Thian. Berhubung upacara itu hanya berjarak 1 minggu dengan tahun baru, tanggal 23 disebut xiao nian atau "Tahun Baru Kecil".

Sebagian orang menyebut tanggal 23 yaoming de guandongtang atau "permen guandong peminta nyawa". Usut punya usut, rupanya mereka percaya, sebelum memasuki Imlek semua utang sudah harus lunas. Jelaslah, bagi yang berutang hari sengsara (karena harus membayar utang) pun semakin dekat

Sumber Tulisan :
1. Setiawan dan Kwa Thong Hay, 1990
2. Dewa Dewi Klenteng, Yayasan Klenteng Sam Poo Kong, Wu Luxing, 1995
3. 100 Chinese Gods, Asiapac books
4. Buletin Hikmah Tri Dharma, Edisi 01/XXIX/Januari-Februari 2005
5. Berdasarkan Cerita turun temurun Masyarakat Tionghoa Gorontalo