Kamis, 08 Desember 2011

PROSESI PERNIKAHAN ADAT CHINA

Pernikahan adalah momen yang paling luar biasa dalam kehidupan manusia dimana saat itu baik sang pria maupun sang wanita memutuskan untuk membentuk keluarga sendiri dan menyambung keturunan mereka.


Sehingga melihat hari, jam dan tanggal baik merupakan salah satu hal yang wajib diperhitungkan bagi tradisi adat China. Diharapkan, hari, tanggal dan jam baik tersebut adalah sebagai doa sehingga kedua mempelai bisa menikmati kehidupan pernikahan mereka dengan bahagia sampai akhir hayat mereka.


Dengan banyaknya kebutuhan yang harus dilengkapi dan kekurang pengetahuan akan hal itu, tidak jarang banyak pasangan yang akhirnya menyerahkan kepada orang tua mempelai. Pesta pernikahan bukan hanya sebagai simbol sementara, bahwa pasangan telah resmi dalam ikatan. Namun bagi keluarga sepuh yang sangat memperhatikan adat istiadat, mereka menganggap bahwa pernikahan adat China haruslah sakral, bukan hanya untuk kedua pasangan namun juga ikatan antara kedua belah keluarga.


Dalam prosesi pernikahan Cina yang otentik, terdapat aturan khusus yang disebut 3 (tiga) kata & 6 (enam) etika (三書六禮). Dimulai dari Meminang, Membawa Antaran Pinangan, Membawa Hantaran Kawin (过大礼/纳彩), Tunangan, Menjemput Penganten dan Upacara Pernikahannya sendiri.


Pada masa awal, bila seorang pemuda atau orang tua pemuda tertarik pada seorang pemudi, maka diutus seorang mak comblang kerumah pemudi tersebut untuk bertemu dengan orang tuanya membawa hantaran pinangan. Mak Comblang segera menukarkan kartu yang berisi nama, usia dan hal-hal lainnya sehubungan dengan pemuda-pemudi tersebut untuk melihat adanya kecocokan Suan Ming (Chinese fortune telling). Dan bila kedua pihak sudah sepakat, maka dibuatlah acara pertunangan.


Pada jaman era dinasty dimana Paham Confusius sebagai pondasi negara, pernikahan harus dilakukan oleh kedua insan dengan nama marga yang berbeda, dan setelahnya tugas keduanya adalah untuk melanjutkan garis keluarga pihak laki-laki. Sebelum jaman ini, kebanyakan pernikahan hanyalah berupa pasangan pria dan wanita yang hidup bersama tanpa upacara pengukuhan ikatan apapun.


Pernikahan & Mitos

Mitos pernikahan paling populer adalah mitos pernikahan Nüwa dan Fu Xi. Pada dasarnya keduanya merupakan saudara. Kisahnya bermula dimana saat itu bumi belumlah memiliki populasi, sehingga keinginan mereka untuk menikah dimaklumi namun keduanya merasa malu akan hal tersebut. Sehingga mereka naik ke Gunung Kun Lun untuk berdoa kepada langit. Bila langit mengijinkan pernikahan mereka, buatlah keajaiban untuk membuat mereka tidak tampak/dalam samaran.


Kemudian langit mengijinkan pernikahan mereka dan membuat wajahnya Nüwa menjadi samar. Namun untuk menutup rasa malunya, Nüwa menutup wajahnya dengan kipas. Hingga saat ini dibeberapa pedesaan Cina masih digunakan kipas untuk menutup wajahnya pengantin wanita.


Lamaran dan Mahar

Kurang memahami pernik yang digunakan dalam adat upacara perkawinan sering dijumpai dalam masyarakat modern keturunan di Indonesia. Namun sekarang sudah terbantu dengan banyaknya dijual bermacam – macam asesoris untuk perkawinan dengan menyesuaikan adat China baik yang masih otentik dan juga ada yang sebagai perhiasan untuk memperindah prosesinya.


Dalam tradisi China proses lamaran dilakukan kira-kira seminggu sebelum berlangsungnya pernikahan. Lamaran merupakan pemberian barang dari mempelai pria untuk mempelai wanita yang nantinya akan digunakan oleh kedua calon mempelai untuk kehidupan setelah masa pernikahan. Barang yang diserahkan biasanya melambangkan kelanggengan, kesuburan dan juga kebahagiaan untuk pasangan. Yang unik dari barang lamaran pada adat ini ialah banyaknya nominal 9 (jiu) atau 8 (fat) yang menjadi kunci pokok langgeng dan berkembangnya kebahagiaan bagi kedua mempelai.


Barang yang menjadi hantaran biasanya berupa:


- Uang; dalam masyarakat modern biasanya jumlahnya sudah ditentukan bersama contohnya Rp. 9.999.900 atau pada masa otentik yakni emas dalam kadar angka 9.
- Perhiasan berupa kalung, gelang, anting didalam kotak merah (khusus bagi orang canton, dibuat dalam 4 barang emas 四点金).
- Peralatan sehari – hari (peralatan mandi, peralatan makan, dll),
- Satu set peralatan Tea Pay, Termasuk Lilin Naga & Phoenix 龙凤烛
- Kue Pia atau bolu (dibagikan kepada sanak saudara yang membantu),
- Makanan laut yang sudah dikeringkan (juhi, sirip ikan “yu che”)
- Kacang – kacangan (almond, hijau & merah) atau saat ini diganti dengan kue kacang-kacangan,
- Sepasang kaki babi untuk melambangkan keselamatan,
- Kelapa bulat yang ditempel aksara Chinese berarti ‘Double Happy’,
- Buah – buahan segar (jeruk, apel, anggur dll.)
- Akar teratai “Lian Au”, melambangkan rukunnya tiga generasi; orang tua, anak dan cucu, sedangkan buah teratai kering “Lian Ce”, melambangkan keturunan.
- Permen atau gula batu melambangkan manisnya kehidupan semanis mempelai wanita.

- Brandy


Selain itu juga diberikan angpau/uang sebagai "pengganti" biaya pengantin wanita yang diberikan untuk orang tua mempelai wanita yang hanya disediakan bila pengantin wanita akan ikut dengan pengantin pria setelah menikah nanti.


Dalam pengembaliannya, keluarga wanita menyiapkan 2 (dua) botol syrup untuk diganti dengan brandy. Semua hantaran dihitung dengan jumlah tepak / baki / dulang yang sama dengan yang dihantar sebelumnya ditambah dengan lilin phoenix sepasang. Dan untuk Orang hokkian, diberikan juga pisang sebagai pengembaliannya serta sepatu untuk pengantin pria.


Menghias Kamar 按床


Setelah semua acara lamaran sudah dipersiapkan, kini saatnya merapikan tempat peraduan kedua mempelai. Tradisi merias kamar pengantin dilakukan juga seminggu sebelum Hari H berlangsung. Menghias kamar merupakan salah satu tradisi yang masih dilakukan oleh para orang tua kedua mempelai.


Di era modern, menghias kamar dapat dilakukan oleh para perias pengantin. Namun bagi masyarakat Tionghoa dulu, merias kamar menjadi tradisi yang ditunggu – tunggu oleh para keluarga kedua calon mempelai. Orang yang menghias kamar pengantin biasanya ialah kerabat yang sudah menikah dan kehidupan pernikahannya terkenal langgeng, ini melambangkan agar dapat menjadi contoh bagi kedua calon mempelai. Didalam tempat tidur diletakkan beberapa barang sebagai berikut (yang mana tidak saya-penulis, indonesiakan untuk tidak mengurangi arti) : dried longans, lotus seeds, red dates, persimmons, sprig of pomegranate leaves together with 2 red packets are placed on the bed.


Menghias kamar pengantin dengan warna merah melambangkan kebahagiaan dan semangat hidup, lampu lentera juga kerap diletakkan di dalam kamar. Dengan maraknya lampu yang ada, diharapkan pernikahan ini akan menerangi bagi pasangan dalam melangkah kehidupan bersama. Sebagai simbol lancarnya keturunan mempelai, kamar yang sudah rapih biasanya ditiduri oleh bayi atau balita serta diletakkan lampu sepasang disebelah tempat tidur calon pengantin.


Dari semua arti positif yang terkandung dalam setiap barang dan perbuatan, ada juga larangan yang tidak boleh dilakukan oleh para mempelai di dalam kamar ini yaitu salah seorang mempelai, baik itu mempelai pria maupun wanita, tidak diperkenankan tidur sendiri tanpa pendamping. Secara tidak langsung hal ini berarti menjauhkan mereka dari kehilangan salah satu pasangan, entah karena bercerai atau meninggal.


Semua benda didalam kamar ditempelkan dengan tulisan double joy 双喜 mulai dari barang-barang pribadi sampai meja rias dan lainnya. Selain itu hiasan yang umumnya digunakan saat jaman dynasty adalah potongan kertas/gambar bebek peking, naga dan burung phoenix dan semuanya ditempelkan sepasang.


Upacara

Pagi hari sesaat sebelum upacara dilakukan setelah selesai mandi, mempelai pria dan wanita diharuskan memakai pakaian putih. Sambil disisir 4 kali dari kepala hingga ujung rambut oleh kerabat dekat yang masih lengkap keluarganya 梳头, diucapkanlah juga empat kalimat ini : sisiran pertama “hidup bersama sampai rambut beruban (梳梳到尾)” sisiran kedua “rumah tangga harmonis (二梳百年好合)” dan sisiran ketiga “diberkati dengan banyak keturunan (三梳子孙满堂)” sisiran keempat "diberkati dengan panjang umur (四梳白发齐眉)".


Setelah melakukan ritual pagi, tibalah saatnya untuk upacara. Upacara dimulai dengan sembahyang untuk para leluhur demi meminta ijin berlangsungnya acara, setelah itu keluarga beserta kedua calon mempelai menikmati hidangan kue onde, ini melambangkan agar acara yang akan dilangsungkan berjalan dengan lancar, layaknya bola yang bergelinding.


Tibalah saatnya untuk Tea Pay, Fungsi dari Tea pay sendiri ialah layaknya perkenalan bagi para calon mempelai dengan keluarga dari kedua belah pihak. Selain itu upacara yang dapat berarti “jualan teh” ini juga sebagai penghormatan dari kedua calon mempelai kepada orang tua dan kerabat sepuh agar mendoakan mempelai menjadi pasangan yang bahagia lahir batin dalam susah dan senang.


Prosesinya pun cukup mudah, kedua mempelai berlutut atau membungkuk, sambil menjamu dan mempersilahkan kedua orang tua menikmati teh yang telah dituang oleh mempelai pria dan diberikan oleh mempelai wanita. Lalu setelah prosesi jamuan minum selesai, kedua mempelai dibayar atau diberi hadiah berupa angpao biasanya berisi perhiasan ataupun uang. Untuk perhiasan, orang tua biasanya langsung memakaikan kepada mempelai wanita dan untuk uang angpao akan di letakkan di atas nampan atau saku mempelai pria.


Semua prosesi adat di atas dapat dilakukan di jaman sekarang, hanya saja bila masih ada perhelatan lain, sebut saja seperti pemberkatan di gereja atau juga acara resepsi. Tidak menutup kemungkinan sebagian masyarakat telah menyederhanakan bagian dari adat tersebut.


Pada literatur kuno, dikisahkan bahwa pernikahan seyogyanya dilakukan pada malam hari dimana merupakan waktu yang tingkat keberuntungannya paling besar serta semua depan pintu ruangan ditempelkan banner merah 红彩帘.


Sumber Tulisan:

- Wolf, Arthur P. and Chieh-shan Huang. 1985. Marriage and Adoption in China, 1845-1945. Stanford University Press.
- Diamant, Neil J. 2000. Revolutionizing the Family: politics, love and divorce in urban and rural China, 1949-1968. University of California Press.
- ^ Rubie Sharon Watson, Patricia Buckley Ebrey, Joint Committee on Chinese Studies (U.S.) (1991). Marriage and inequality in Chinese society. University of California Press. p. 225. ISBN 0520071247. Retrieved 2011-05-12.
-
^ Romantic Materialism (the development of the marriage institution and related norms in China), Thinking Chinese, October 2011
- http://www.983wedding.com/chinese/

Senin, 03 Januari 2011

Hari Raya Cio Ko

Zhong Yuan Jie (Hok Kian: Tiong Gwan Cwe) diperingati setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek. Orang-orang pada umumnya juga menyebutnya sebagai Hari Raya Hantu (Ghost Festival).

Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka !!! Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.

Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.

Di daerah-daerah & propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.

Versi Buddhis Mahayana

Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :

Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).

Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa nyana, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.

Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya: Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu !

Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.

Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.

Setelah Maha Moggalana mendengarnya, lalu bertanya lagi : Semua orang yang berbakti, apakah boleh ikut serta dalam “Yi Lan Pen” ?

Sang Buddha menjawab : Sangat bagus ! Sangat bagus !

Ikut serta dalam Yi Lan Pen boleh membaca paritta Yi Lan Pen Jing. Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.

Pattidana Vs Cio Ko (Ulambana)

Sering orang salah pengertian bahwa upacara Pattidāna sama dengan upacara Cio Ko atau Cio Sie Kow yang dikenal sebagai sembahyang rebutan yang dilakukan di kelenteng-kelenteng Taois atau Vihara Avalokiteswara.

Upacara Cio Ko atau ”sembahyang rebutan“ berdasarkan kepercayaan dalam cerita See Yu atau perjalanan ke Barat. Upacara ini dilakukan setelah tanggal 15 Imlek bulan ke tujuh (Cit Gwee). Karena sebelum tanggal tersebut keluarga masih melakukan sembahyang leluhur di rumah atau di makam, sehingga disebut sebagai ”sembahyang kubur”. Upacara Cio Ko ditujukan untuk ”arwah” yang mendapat cuti berkunjung ke rumahnya tetapi keluarganya sudah tidak mengingat mereka lagi.

Sedangkan upacara Pattidāna berdasarkan kejadian ketika Raja Bimbisara di Rajagaha mengundang Buddha Gotama dengan para siswa-Nya santap siang. Karena sangat bahagia raja lupa untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhurnya yang terlahir di alam peta, sehingga pada malam hari mendapat gangguan dari peta-peta tersebut. Maka keesokan harinya raja mengundang kembali Guru Agung Buddha dan melimpahkan jasanya kepada leluhurnya.

Jadi upacara Pattidāna dapat dilakukan kapan saja bila kita mendapat kesempatan berbuat baik dan pikiran sedang bahagia. Upacara Pattidāna bukan ”upacara duka”. Paritta Avamaïgala dibaca atau diulangi agar yang mendengar dan setelah tahu artinya bisa berubah pikiran dari bersedih menjadi bijaksana dan rela melepas orang yang dicintai.


Sumber Tulisan :

1. Saduran "Journey to the west"

2. http://jindeyuan.org/ghost-festival-cioko/index.htm#comment-157

3. Dhammadesana Bhikkhu Sri Subalaratano (Minggu, 29 Agustus 2010)