Senin, 03 Januari 2011

Hari Raya Cio Ko

Zhong Yuan Jie (Hok Kian: Tiong Gwan Cwe) diperingati setiap tahun pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek. Orang-orang pada umumnya juga menyebutnya sebagai Hari Raya Hantu (Ghost Festival).

Konon, pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe, adalah hari di mana Pintu Gerbang Neraka dibuka !!! Untuk menghindari agar ayah ibu yang telah meninggal dunia tidak mengalami penderitaan Neraka, maka dilaksanakanlah sembahyang kepada roh-roh, dewa dan hantu secara besar-besaran, mengharap agar roh-roh halus jangan menganiaya ayah ibu yang telah meninggal tersebut.

Hari Raya Tiong Gwan Cwe, Hari Raya Ceng Beng, dan Hari Raya Tang Ce adalah 3 Hari Raya Hantu di kalangan kita orang-orang Tionghoa.

Di daerah-daerah & propinsi-propinsi di Tiongkok, Taiwan, Hongkong, Macau, sangat menaruh perhatian kepada 3 Hari Raya ini. Apalagi pada Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, melaksanakan upacara sembahyang dengan sangat megah dan hikmat. Ini adalah perwujudan BAKTI kepada orang tua.

Versi Buddhis Mahayana

Ada sebuah Kitab Suci Budhis yang berjudul Yi Lan Pen Jing, di dalam Kitab tersebut ada tercatat sebuah peristiwa :

Pada zaman dulu, ada seorang Bikkhu yang bernama Maha Moggalana. Ia merupakan salah seorang dari 10 Murid Utama Sang Buddha Gautama. Maha Moggalana adalah murid Sang Buddha dengan kesaktian no. 1 (di bawah Sang Buddha).

Maha Moggalana pada suatu ketika, dengan mata bathinnya melihat ibunya yang telah meninggal dunia, berjalan bersama dengan sekelompok hantu kelaparan. Dengan maksud menolong ibunya, lalu ia mengisi nasi ke dalam sebuah mangkok, untuk memberi makan ibunya. Siapa nyana, begitu nasi akan disuapkan ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api yang panas membara. Maha Moggalana dengan menggunakan kesaktiannya mencoba berkali-kali, tapi setiap kali hendak masuk ke mulut ibunya, nasi tersebut berubah menjadi bara api.

Maha Moggalana terkejut luar biasa, lalu kembali dan melapor kepada Sang Buddha Sakyamuni. Sang Buddha berkata kepadanya: Dosa ibu kamu terlalu berat, hanya dengan kekuatan kamu 1 orang, tidak bisa membebaskan penderitaan ibu kamu !

Lalu Maha Moggalana berlutut di lantai, memohon kepada Sang Buddha sambil berlinang air mata : Mohon Buddha memberi petunjuk, bagaimana baru bisa menolong ibu saya agar terbebas dari lautan penderitaan, dan tidak bersama dengan para hantu kelaparan itu lagi.

Sang Buddha menjawab : Mengenai hal ini, membutuhkan kekuatan para Bikkhu di 10 penjuru, begitu sampai Hari Raya Tiong Gwan Cwe ini, mewakili orang tua dari 7 generasi, dan orang tua sekarang yang berada dalam bencana /malapetaka, mempersiapkan bermacam-macam sayur dan buah-buahan, untuk dipersembahkan kepada Yang Berkebajikan di 10 penjuru, setiap orang berbuat kebajikan, di saat ini barulah bisa membebaskan penderitaan semua hantu kelaparan.

Setelah Maha Moggalana mendengarnya, lalu bertanya lagi : Semua orang yang berbakti, apakah boleh ikut serta dalam “Yi Lan Pen” ?

Sang Buddha menjawab : Sangat bagus ! Sangat bagus !

Ikut serta dalam Yi Lan Pen boleh membaca paritta Yi Lan Pen Jing. Agar orang tua yang dalam penderitaan bisa memperoleh keterbebasan. Oleh karena ini, pada hari dan menjelang Hari Raya Tiong Gwan Cwe banyak orang yang bervegetarian dan bersembahyang, mewakili orang tua yang telah meninggal, terbebas dari penderitaan.

Pattidana Vs Cio Ko (Ulambana)

Sering orang salah pengertian bahwa upacara Pattidāna sama dengan upacara Cio Ko atau Cio Sie Kow yang dikenal sebagai sembahyang rebutan yang dilakukan di kelenteng-kelenteng Taois atau Vihara Avalokiteswara.

Upacara Cio Ko atau ”sembahyang rebutan“ berdasarkan kepercayaan dalam cerita See Yu atau perjalanan ke Barat. Upacara ini dilakukan setelah tanggal 15 Imlek bulan ke tujuh (Cit Gwee). Karena sebelum tanggal tersebut keluarga masih melakukan sembahyang leluhur di rumah atau di makam, sehingga disebut sebagai ”sembahyang kubur”. Upacara Cio Ko ditujukan untuk ”arwah” yang mendapat cuti berkunjung ke rumahnya tetapi keluarganya sudah tidak mengingat mereka lagi.

Sedangkan upacara Pattidāna berdasarkan kejadian ketika Raja Bimbisara di Rajagaha mengundang Buddha Gotama dengan para siswa-Nya santap siang. Karena sangat bahagia raja lupa untuk melimpahkan jasa kebajikan kepada para leluhurnya yang terlahir di alam peta, sehingga pada malam hari mendapat gangguan dari peta-peta tersebut. Maka keesokan harinya raja mengundang kembali Guru Agung Buddha dan melimpahkan jasanya kepada leluhurnya.

Jadi upacara Pattidāna dapat dilakukan kapan saja bila kita mendapat kesempatan berbuat baik dan pikiran sedang bahagia. Upacara Pattidāna bukan ”upacara duka”. Paritta Avamaïgala dibaca atau diulangi agar yang mendengar dan setelah tahu artinya bisa berubah pikiran dari bersedih menjadi bijaksana dan rela melepas orang yang dicintai.


Sumber Tulisan :

1. Saduran "Journey to the west"

2. http://jindeyuan.org/ghost-festival-cioko/index.htm#comment-157

3. Dhammadesana Bhikkhu Sri Subalaratano (Minggu, 29 Agustus 2010)