Rabu, 25 Januari 2012

Kebudayaan Mendasar Masyarakat Tionghoa - Dilihat dari aspek Kultural Spiritual

Prosesi Perayaan Cap Go Meh, Gorontalo
Sebelumnya, mungkin banyak dari kita yang mengira bahwa bicara tentang kebudayaan Tionghoa adalah membicarakan kepercayaan tradisional yang ada dalam masyarakat Tionghoa, seakan – akan kepercayaan tadilah yang membentuk kebudayaan dan cara hidup masyarakat Tionghoa selama ribuan tahun.

Sebenarnya, kepercayaan tradisional hanyalah sebagian kecil dari kebudayaan Tionghoa itu sendiri, namun kepercayaan tradisional yang terbentuk dari kebudayaan leluhur masyarakat Tionghoa sejak zaman pra-sejarah kemudian menjadi salah satu tulang punggung transformasi kebudayaan Tionghoa selama ribuan tahun dalam sejarahnya. Jadi dapat dikatakan, kepercayaan tradisional ini muncul dari kebudayaan dan merupakan bagian darinya dan dalam perkembangannya juga mempengaruhi bentuk kebudayaan dan segala transformasinya.

Tulisan ini sendiri terjadi karena banyaknya masyarakat yang melakukan adat istiadatnya tanpa mengetahui asal – usulnya atau bahkan mempertanyakan kenapa hal – hal tersebut dilakukan. Mudah – mudahan dengan adanya tulisan ini, dapat membantu mencerahkan sedikit kebingungan dan menjawab pertanyaan – pertanyaan kita. Dan apabila memungkinkan, tambahan koreksi yang bersifat membangun dapat menambah pengetahuan kita bersama pada terbitan berikut. Mudah2an sedikit tulisan ini dapat memperkaya koleksi `rsip tentang kebudayaan Tionghoa yang memang sangat minim di Indonesia.

Perlu diingat bahwa ada kemungkinan tulisan yang saya susun berdasarkan sumber-sumber yang ada hanyalah legenda, namun dilain pihak ada beberapa poin penting yang memang ada secara konkrit dan merupakan fakta. Demikian pula dalam kisah-kisah legenda ada banyak hal yang merupakan fakta kemudian ditambahkan sedemikian rupa baik dari isi maupun cerita untuk lebih bisa dimikmati pada jamannya dan kemudian baru di otentik kan pada jaman berikutnya dalam rupa tulisan, teater dan sebagainya. Misalkan cerita Hercules di Yunani atau Gatotkaca di Indonesia serta banyak kisah dibawah ini yang kedengarannya sulit dipercaya di jaman sekarang.

Bedanya adalah budaya Tionghoa kemudian sebagian dijadikan sebagai pegangan dalam kesehariannya hingga kini sebagian besar tidak lagi dapat dibedakan antara bagian mana yang merupakan Legenda dan bagian mana yang berupa Fakta. Apalagi, sama seperti bangsa lainnya di dunia, di jaman kekaisaran kuno Tiongkok banyak mempercayai kisah-kisah misteri yang mencampurkan antara tahyul dan fakta.

Sehingga dalam mebaca tulisan saya berikut, diharapkan pembaca bisa bijaksana untuk memahami dengan pertimbangan sendiri bahwa Legenda inilah yang menjadi cikal bakal asal usul adat istiadat Tionghoa saat ini. Mungkin di jaman ini banyak yang terlihat janggal dan aneh, namun demikian banyak pula yang merupakan fakta sebenarnya yang dibumbui pada jamannya untuk menjadi lebih menarik dinikmati. Saya secara pribadi mempercayakan sepenuhnya kepada pembaca untuk bijaksana dalam berargumen dan menikmati kisah-kisah legenda abadi ini layaknya banyak hal didunia ini yang belum bisa dijawab secara akal ilmu pengetahuan.

Akhir kata, selamat menikmati perjalanan anda untuk menelusuri kembali asal-usul penting sebuah budaya Bangsa Tionghoa.

Kepercayaan Masyarakat Tionghoa

Sejarah kebudayaan Tionghoa seperti kebudayaan kuno lainnya juga dimulai dengan mitologi – mitologi. Di zaman dahulu kala, leluhur orang Tionghoa mulai menuliskan pandangan mereka terhadap alam semesta ini. Mereka menganggap bahwa sebelum dunia ini terbentuk, langit (Tian) dan bumi (Di) merupakan satu kesatuan yang disebut dengan keadaan tidak berbentuk atau chaos (Hun Dun). 18 ribu tahun kemudian, seorang bernama Pan Gu (Cerita Legenda) mulai memisahkan langit dan bumi. Setiap hari, langit bertambah tinggi 3.3 meter, bumi bertambah tebal 3.3 meter dan Pan Gu bertambah tinggi 3.3 meter. Demikian seterusnya 18 ribu tahun berlalu dan langit telah sangat tinggi, bumi telah sangat tebal. Setelah Pan Gu wafat, anggota tubuhnya kemudian menjadi matahari dan bulan, gunung dan laut, sungai dan danau. 

Inilah yang disebut sebagai legenda Pan Gu memisahkan langit dan bumi (Pan Gu Kai Tian Di) dan Pan Gu juga mendapat gelar Raja Langit Pertama (Yuan Shi Tian Wang). Jadi, sebenarnya juga ada mitologi penciptaan di dalam kepercayaan tradisional Tionghoa, cuma Pan Gu adalah tetap merupakan sosok manusia yang kemudian menjadi tokoh legendaris yang tidak pernah di-Tuhan-kan.

Di kemudian hari, dalam mitologi bangsa Tionghoa juga ada tokoh legendaris Nu Wa yang dikenal sebagai ibu pertama dari bangsa Tionghoa menciptakan manusia dan menambal langit yang bocor. Fu Xi yang mengajarkan cara membuat jala dan menangkap ikan, beternak dan berburu, menciptakan Ba Gua (8 diagram) dan Shen Nung yang mengajari cara bertani, ahli obat2 tradisional dan memperkenalkan minuman teh.


Di masa ini, leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian Jie), alam Bumi (Ming Jie) dan alam Baka (You Jie). Dan dalam perkembangannya akhirnya lahir aliran yang disebut sebagai Tri-Dharma (Sam Kau = hokkian, Shan Jiau = mandarin) yaitu gabungan antara Taoisme, Konfusianisme dan Buddhisme. 

Pada dasarnya, ada beberapa orang yang mengartikan Tri-Dharma sebagai kepercayaan tradisional yang telah ada jauh sebelum agama eksis dan merupakan bagian dari budaya (sinkretisme budaya), dan masing – masing saling mempengaruhi bentuk dan transformasi ketiga agama tadi dalam batas – batas tertentu. Dan ada pula yang mengatakan, di zaman dulu, ada atau tidaknya agama leluhur orang Tionghoa, mereka tetap akan memegang teguh kepercayaan tradisional ini.

Konsep Tiga Alam

Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing – masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. 

Alam Langit (Tian Jie) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja – raja Langit (Tian Wang) dan dewa-dewi langit (Tian Shen). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang – orang besar yang berjasa di bidangnya masing2 terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya (dipercaya) dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar – kaisar legendaris seperti Yao, Xun dan Yu adalah bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya yang akan diterangkan lebih lanjut dalam bagian yang lain. 

Alam Bumi (Ming Jie) adalah menunjuk pada bumi tempat kita berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit (dianggap) bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang Jian atau pun Ren Jian. 

Alam Baka (You Jie) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh (Ling) dan hantu – hantu (Gui) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, (dipercaya) ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi Dian Yan Luo) dan 18 Tingkat Neraka (Shi Ba Ceng Di Yu). 

Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng Po dan melewati jembatan Nai He. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya.

Hubungan dan Interaksi Antar Tiga Alam Alam Langit, alam Bumi dan alam Baka adalah mempunyai hubungan satu sama lain dan dapat berinteraksi di antaranya. Kepercayaan leluhur orang Tionghoa bahwa ada kehidupan setelah kematian, seseorang yang telah meninggal akan menjadi roh (Ling) ataupun hantu (Gui). 

Roh ini terbagi atas roh yang baik dan jahat. Roh yang dihormati dan dikenang oleh keturunannya sehingga dapat menjaga, melindungi dan membawa berkah pada keluarga anak cucunya adalah roh leluhur yang baik. Sedangkan roh yang tidak mendapat penghormatan, perlakuan layak dan wajar oleh keturunannya ataupun yang meninggal secara tidak wajar biasanya merupakan roh yang jahat. Roh yang jahat inilah yang biasanya kita kenal dengan sebutan hantu. 

Namun, tidak semuanya akan menjadi roh ataupun hantu. Ada tokoh tertentu yang berjasa dan berkontribusi besar bagi masyarakat, kebudayaan dan negara dipercaya akan naik derajatnya menjadi dewa-dewi yang patut dihormati masyarakat luas untuk mengenang dan menghormati jasa mereka. Banyak dari dewa-dewi leluhur orang Tionghoa yang sebenarnya merupakan tokoh sejarah yang benar – benar pernah hidup pada masanya dan bukan cuma legenda atau mitologi. Masing – masing dewa-dewi tersebut mempunyai peranan dan kelebihan masing – masing pula. seperti Guan Gong (nama asli Guan Yun-chang) yang hidup masa Dinasti Han akhir (Tiga Negara) dipuja sebagai Dewa Perang yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan, lalu Ma Zhu Niang-niang (nama asli Lin Mo-niang) yang hidup di zaman Dinasti Sung yang dipuja sebagai Dewi Samudera yang melambangkan bakti seorang anak kepada orang tuanya. 

Dari semua bentuk interaksi ini, yang paling nyata dan penting dalam kepercayaan tradisional ini adalah upacara merayakan ulang tahun dewa-dewi (Wei Shen Zuo Shou) dan membantu roh untuk terbebas dari penderitaan (Ti Gui Cao Sheng, dalam agama tertentu dapat disamakan dengan pelimpahan jasa). Kedua upacara ini biasanya diselenggarakan bersamaan pada hari ulang tahun dari dewa-dewi tersebut. Semua ini dilakukan demi penghormatan kepada dewa-dewi dan roh – roh yang dianggap dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini. Bentuk – bentuk ritual kepercayaan ini sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Namun di dalam perbedaan tersebut, persamaannya masih tetap lebih menonjol karena dewa-dewi yang dipuja dan inti dari penghormatan tersebut adalah sama hakikatnya.

Pengertian Dewa

Dewa adalah sebuah ‘Sebutan’ posisinya hampir serupa dengan sebutan lain seperti misalnya ‘Sarjana’. Sebutan ini diberikan kepada ‘Sosok’ yang telah sukses dalam mencapai ‘Kesempurnaan’ hidup secara menyeluruh. (Baca: Spiritual)

Dalam bahasa aslinya Dewa disebut ‘Shen Sian’, merupakan sebutan yang mewakili Dewa-Dewi secara menyeluruh. Dimana jika dibedakan lagi, akan terdapat 2 kelompok Dewa yaitu:

Kelompok Dewa yang disebut ‘Shen’. Kelompok ini terkesan ‘Formal’, (mungkin) seperti pejabat militer. Contohnya antara lain: Dewa Kwan Kong.

Kelompok Dewa yang disebut ‘Sien / Xian’. Kelompok ini terkesan ‘Santai’, (mungkin) seperti pejabat sipil. Contohnya antara lain Pat Sian / Delapan Dewa.

Sebenarnya kedua kelompok tersebut sama saja, manusia ‘melihat’ ada perbedaan lalu menyebutnya berbeda.
Selain itu Dewa-Dewi juga digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu:

Dewa-Dewi Sien Thien. Maksudnya adalah Dewa-Dewi yang tidak diketahui sejarahnya. Dan mungkin sekali keberadaannya sudah ada jauh sebelum adanya peradaban manusia, atau bahkan (dipercaya) sudah ada jauh sebelum bumi tercipta. Contohnya antara lain: Yi Vang Ta Ti (Tien Kung), Ciu Thien Sien Nie dll.

Dewa-Dewi Hou Thien. Maksudnya adalah kelompok Dewa-Dewi yang berasal dari manusia yang (dianggap) telah mencapai kesempurnaan. Karenanya seringkali Beliau memiliki catatan otentik kehidupan saat menjadi manusia. Contohnya antara lain Pat Sian, Tien Sang Shen Mu. Juga legenda Hakim Bao yang menjadi Hakim Neraka.

Dalam perkembangannya Agama Rakyat tercampur dengan ajaran Buddha. Sehingga kadang umat Klenteng mencampur adukkan antara Shen Sien yang diterjemahkan sebagai Dewa dengan deva, yaitu makhluk yang hidup di alam surga menurut ajaran Buddha. Apalagi deva juga diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi dewa. Padahal sebenarnya pengertian antara Shen Sien dengan deva tidaklah sama.

Untuk bisa mencapai tingkat Shen Sien, maka manusia harus Membina Diri untuk mencapai kesempurnaan yang targetnya antara lain:
§ Mencapai kesempurnaan Fisik.
§ Mencapai kesempurnaan batin / kesadaran dengan mencapai Pencerahan.
§ Mencapai kesempurnaan Sukma dengan mencapai Keabadian.
§ Memupuk perilaku Kebajikan, menjadi manusia Bijaksana.

Selain itu ada lagi target akhirnya yaitu ‘Tien Ren Hek Yi’ atau ‘kembali’ ke Wu Chik. Sedangkan agar ‘terlahir’ di alam surga menjadi deva (dipercaya) "targetnya" tidaklah selengkap hal diatas. Selain itu ada lagi sosok yang ‘menjadi’ Dewa karena ‘didewakan’, namun ini adalah suatu persoalan tersendiri.
 
Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Kepercayaan Tradisional Tionghoa

Secara garis besar maka jenis – jenis dewa-dewi yang dipuja dalam kepercayaan tradisional ini berdasarkan asal usulnya adalah :
  • Bentuk penghormatan kepada alam (Ze Ran Chong Bai)
Kategori ini termasuk dewa-dewi yang paling awal karena telah ada sejak zaman dahulu kala jauh sebelum munculnya penghormatan jenis lainnya. Karena di zaman dulu, alam merupakan tantangan keras bagi leluhur bangsa Tionghoa untuk bertahan hidup, maka leluhur bangsa Tionghoa berusaha hidup harmonis dalam kerasnya alam. Catatan yang perlu diingat adalah sebagian dari Dewa jenis ini memiliki history sebagai manusia yang pada masa hidupnya adalah merupakan manusia biasa, pejabat bahkan Raja yang semuanya pernah berjasa bagi masyarakat dan dikagumi. Dewa-dewi dari jenis penghormatan ini misalnya :
    • Yu Huang Da Di = Raja Langit, merupakan bentuk penghormatan pada langit.
    • Fu De Zheng Shen (Tu Di Gong atau Tho Te Kong) = Dewa Bumi/Tanah, merupakan penghormatan pada bumi.
    • Wu Lei Yuan Shuai (Lei Gong atau Li Kong) = Dewa Petir, merupakan penghormatan pada petir.
    • Dan masih banyak lagi
  • Bentuk penghormatan kepada leluhur (Zu Xian Chong Bai) Kategori ini muncul setelah adanya pengaruh Konfusianisme yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada leluhur, terutama yang berjasa dan berkontribusi bagi orang banyak. Bila tidak ada leluhur, tentu kita tidak akan berada di sini sekarang.
  • Dewa-dewi bentuk penghormatan terdiri dari tokoh-tokoh sejarah besar, tokoh-tokoh mitologi yang dianggap sebagai leluhur jauh maupun dekat, misalnya :
    • Tokoh2 sejarah : Kaisar pra-Dinasti Xia seperti Yao, Shun dan Yu.
    • Kong Zi Gong = Konfusius/Khonghucu, lambang kebijakan.
    • Fo Zu = Buddha Sakyamuni/Hud Cho.
    • Tai Shang Lao Jun = Lao-tse.
    • Guan Sheng Di Jun = Kwan Kong, lambang kesetiaan.
    • Bao Gong = Bao Zheng/Hakim Bao, lambang keadilan.
    • Tian Shang Sheng Mu = Ma Zu/Ma Cho, lambang bakti anak terhadap orang tua.
  • Tokoh mitologi (Dalam pengertian belum ditemukan bukti otentik bahwa tokoh-tokoh ini pernah hidup sebagai manusia) :
    • Yuan Shi Tian Wang = Pan Gu, tokoh mitos penciptaan alam semesta.
    • Nu Wa Niang Niang = Nu Wa, tokoh mitos penciptaan manusia.
    • Qi Tian Da Sheng = Sun Go Kong, tokoh mitos dalam cerita Perjalanan ke Barat (Xi You Ji).
    • Xuan Yua Shi = Huang Di, kaisar purba di abad 27 SM.
    • Wu Ke Da Di = Shen Nung, ahli pertanian dan obat tradisional.
  • Bentuk lain – lain (Shu Wu Chong Bai) Kategori ini adalah bentuk penghormatan yang tidak termasuk ke dalam kategori di atas. Misalnya :
    • Men Shen = Dewa Pintu.
    • Zao Jun = Dewa Dapur.
Bila diperhatikan, maka hampir semua dari dewa-dewi yang ditinggikan di dalam kepercayaan tradisional ini adalah dimanusiakan tanpa memandang bentuk asalnya. Ini terutama terlihat dalam bentuk penghormatan pada alam maupun bentuk – bentuk lain. Namun apapun bentuk yang ditunjukkan (patung, papan nama penghormatan dan lain – lainnya), yang dipuja dan dihormati tentu bukan bentuk real darinya. 

Jadi yang perlu diingat adalah yang dilakukan dalam kepercayaan tradisional ini bukanlah memuja sang patung ataupun papan tadi, namun adalah memuja dan menghormati dewa-dewi yang bersangkutan beserta kebajikan dan panduan hidup mereka.

Asal Usul Dewa-Dewi Dalam Perkembangannya pada Peribadatan Beragama Masyarakat Tionghoa

Seringkali kita melihat prosesi gotong Toapekong, orang yang sujud berdoa, bertanya dengan ciamsie dan lain-lain. Pemandangan ini dapat kita lihat di kelenteng-kelenteng. Pada kenyataannya, semua yang kita lihat itu hanya permukaan dari kepercayaan orang Tiongkok, permukaan itu mengandung pemahaman yang luas dan berisi makna filosofis yang mendalam. Makna dan pemahaman itu tidak dapat kita lihat atau pahami seperti kita hanya melihat patung-patungnya atau prosesinya.

Ketika kita melihat seorang nenek tua yang dengan sujud bersembayang, pasti ada banyak orang yang tidak mengerti beranggapan bahwa nenek tua itu percaya tahayul, menyembah berhala, tidak berpendidikan, kuno dan sebagainya. Tapi seandainya kita merenungkan lebih mendalam, nenek tua yang begitu bersujud tentunya keyakinan yang timbul dari hatinya sendiri dan ada pengharapan serta keyakinan yang teguh dan kuat. Tidak perduli keyakinan, pengharapan itu bersifat psikologis atau tidak, bagi saya nenek tua itu sedang mencari ketenangan dan rasa aman dari dewa dewi yang ia yakini.

Dalam memandang masalah dewa dewi ini diperlukan suatu bentuk toleransi yang besar sehingga cara memandang kita akan menjadi berbeda dan kita bisa hayati betapa dalamnya makna filosofis yang terkandung didalamnya serta betapa berharganya kepercayaan masyarakat itu. 

Disini penulis bersikap netral, Tapi disisi lain saya mencoba untuk menghormati dewa dewi Tiongkok yang merupakan bagian dari budaya Tionghoa dan pada perkembangannya telah melewati batasan-batasan keagamaan. 

Diatas kita telah mengenal pemilahan dewa dewa Tiongkok. Disini kita mencoba melihat apa yang sebenarnya dipikirkan masyarakat jaman itu dari unsur psikologi dan filosofis yang kemudian membuat Dewa dan Dewi Tionghoa dipuja dan dihormati. 

Jaman dahulu , orang Tiongkok memiliki peribahasa , "Pintar dan jujur adalah Shen" Banyak tokoh-tokoh jaman purba menjadi Shen (diangkat oleh masyarakat dan kerajaan) karena jujur, berjasa, pintar. Yang termasuk kategori ini amat banyak sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa disini Taoism menyerap banyak dewa-dewa rakyat, walau tidak semua diserap. Confuciusm bahkan sampai sempat membuat pendaftaran dewa-dewa rakyat yang pantas dan tidak pantas dihormati karena sangat banyaknya. Pendataan terakhir yang dilakukan oleh Confuciusm adalah pada masa dinasti Qing. 

Orang Tiongkok juga beranggapan manusia mati menjadi Gui atau Shen (Gui = Setan dan masuk neraka, Shen = Dewa dan masuk Surga, ibaratnya sama seperti agama umumnya yang kita kenal beserta para nabi-Nya). Yang menjadi gui maka akan kedalam bumi. Perbedaannya disini dengan pemikiran barat, tidak selalu gui itu jahat dan mencelakakan. Dalam pemikiran rakyat Tiongkok kuno, ada 2 tempat dasar bumi bagi mereka yang meninggal. Tai Shan & Feng Du merupakan 2 tempat tersebut. 

Setelah mengenal jenis-jenis dewa dalam pandangan Taoism, disini saya mencoba menjelaskan makna dan perkembangan bagi masyarakat.

Dalam menjelaskan hal-hal tersebut diatas, saya tidak membahas masalah tingkatan 36 surga, tingkatan dewa-dewi, perbedaan shen dan xian. Karena jika hal tersebut diuraikan bisa terlalu panjang dan masih butuh penelitian lebih lanjut. 

Pada prinsipnya fungsi dan makna dewa-dewi Taoism tidak berbeda jauh dengan dewa-dewi Buddhism. Perlu kita ketahui bahwa dalam perkembangan cerita dewa-dewi Tiongkok agak berbeda dengan dewa-dewi Yunani. Sepanjang pengetahuan saya, cerita dewa-dewi Yunani kebanyakan adalah dewa yang sering mempermainkan manusia, menikahi manusia dan bersenang-senang. Sedangkan dewa dewi Tiongkok adalah dewa yang membantu manusia,misalnya Nu Wa. Ada pula tokoh yang berkorban untuk membantu orang lain, misalnya Huang Da Xian atau Huang ChuPing. Ada pula yang mengajarkan kebenaran bagi masyarakat, misalnya Zhao Jun. 

Dalam perkembangannya, ada pendapat yang mengatakan bahwa Dewa – dewi tersebut di sembah untuk mengingatkan kebajikan yang pernah mereka lakukan. Hal ini dibagi dalam beberapa bagian fungsi. Antara lain :
  • Fungsi sebagai sarana untuk mengajarkan kebajikan Mengajarkan kebajikan adalah salah satu pilar dari semua agama. Tiada agama yang tidak mengajarkan kebajikan. Disini dalam perjalanan sejarah Tridharma (saya menyingkat ke 3 agama menjadi Tridharma agar lebih mudah) di Tiongkok menyerap dewa-dewi sebagai salah satu sarana untuk mengajarkan kebajikan. Kebanyakan kisah-kisah dewa memiliki makna kebajikan yang mendalam. Misalnya Zhang Fu De atau Fu De Zheng Shen, Mu Jian Lilan
  • Dewa-dewi sebagai penolong Selain sebagai pengajar kebajikan , banyak dewa-dewi adalah penolong manusia dan segala mahluk. Baik dari segi mitos maupun fakta sejarah. Cara menolongpun berbeda-beda.
  • Menolong yang sakit dan meninggal. Tokoh pengobatan Sun Se Mao dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu pengobatan yang tinggi sekali , bahkan pernah menolong seorang bayi dalam kandungan ibunya yang telah meninggal 1 minggu. Beliau digelari sebagai Yao Wang. Wu Ben yang juga sebagai tokoh pengobatan digelari Bao Sheng Da Di. Dalam Buddhism juga mengenal Bhaisajyaguru Buddha. 3 kaisar purba yaitu Fu Xi, Shen Nong dan Huang Di masuk dibanyak kategori dimana salah satunya adalah sebagai penolong bagi yang sakit dan meninggal. 

  • Membasmi kejahatan dan memakmurkan masyarakat. Banyak dewa-dewi merupakan pembasmi siluman atau setan yang mengganggu rakyat. Misalnya Zhang Dao Ling atau Zhang Tian Shi, Kim kong , Zhong Tan Yuan Shuai. 

  • Menyebarkan kebajikan, menolong orang yang menderita, menolong yang kekurangan. Dewa-dewanya seperti Ji Gong, Dan Yang Zhen Ren,Bao Qing Tian. 

  • Menolong mereka yang telah meninggal, roh-roh gentayangan, roh- roh penasaran, menyadarkan roh-roh yang tersesat. Bagi keluarga yang ditinggalkan oleh yang dikasihi tentunya memerlukan suatu bentuk keyakinan kemanakah perginya, siapa yang membantu mereka, bagaimana seandainya orang jahat yang meninggal, siapa yang membantu mereka yang berada dineraka dan lain-lain. Berbeda dengan pemahaman agama lain, dewa-dewi Tiongkok percaya bahwa roh-roh jahat juga bisa disadarkan, mereka yang terjebak dalam neraka bisa ditolong dan diangkat ke surga dengan bantuan para dewa. Jadi dalam pemikiran rakyat Tiongkok, neraka bukanlah bentuk yang abadi dan tidak ada penyelamat. Istilah populer dalam Buddhism adalah "Kalau bukan Aku yang ke neraka menyelamatkan mereka yang menderitai siapa lagi", "Aku tidak akan memasuki nirvana selama neraka masih penuh." Taoism juga mengenal tokoh-tokoh seperti Buddhism itu, misalnya Tai Yi Jiu Ku Tian Zun, Dong Yue Da Di. Ksitigarbha Bodhisatva.

  • Fungsi sosial masyarakat dan moralitas. Masyarakat yang mengenal makna-makna yang terkandung dibalik dewa- dewi tentunya akan mengetahui hukum karma, tidak berbuat jahat, percaya dengan berbuat kebajikan akan menuai buah yang baik, memiliki sifat welas asih, menghargai tokoh-tokoh yang berjasa, menghargai para leluhur yang dengan kebajikannya menjadi dewa. Mereka juga tidak perlu takut menghadapi kematian karena dewa-dewanya akan menolong mereka memberi ketenangan dan rasa yakin dari misteri dibalik pintu kematian. Secara umum, orang Tionghua tidak begitu perduli akan dunia kematian, karena mungkin telah tertanam dalam pikiran mereka bahwa dengan berbuat baik maka surga berada ditangannya.
  • Bodhisatva Bodhisatva merupakan dewa yang amat sangat banyak dipuja oleh orang-orang Tionghua, terutama Avalokitesvara Bodhisatva yang dipercaya menolong manusia dan welas asih. Selain itu masih ada bodhisatva lainnya seperti Ksitigarbha bodhisatva, Manjusri Bodhisatva, Maha Cundi Bodhisatva dan lain-lain. Rata-rata bodhisatva memiliki metta karuna untuk menyelamatkan segala mahluk.
  • Pelindung Dharma. Dewa pelindung dharma kadang suka rancu menjadi bodhisatva. Qie Lan Pu Sa yang sering disebut orang, padahal merupakan kumpulan dari 18 shan shen. Lebih tepat menyebutnya Qie Lan Shen. Figur Qie Lan dalam Buddhisme Tiongkok adalah tokoh pahlawan terkenal Guan Yun Zhang. Qie Lan Shen adalah pelindung umat Buddhism. Yang lain adalah Wei Tuo Shen atau kadang sering disebut Wei Tuo Pusa, Wei Tuo Tian. Dipercaya Beliau merupakan pelindung vihara. Selain yang diatas masih ada lagi yang disebut Tian Long Ba Bu, tapi ingat yang dimaksud Tian Long Ba Bu itu bukan cerita silat karangan Jin Yong. 
Demikianlah sedikit yang bisa saya bagikan dalam penelusuran kebudayaan asal usul kepercayaan masyarakat Tionghoa. Mungkin ada banyak diantara rekan sekalian yang bingung dan tadinya tidak memahami arti dalam setiap langkah peribadatan yang dilakukan. Yang perlu diingat adalah setiap manusia baik dijaman dulu maupun saat ini butuh tempat untuk berpegang. 

Setiap manusia berpegang pada apa yang dia percaya, dengan percaya kepada kebaikan, kejujuran, kesetiaan dan keadilan, masyarakat Tionghoa percaya bahwa dirinya bisa "tertolong" bisa "terselamatkan". Pada dasarnya ini sama dalam semua ajaran, bahwa kita mempercayai kebaikan. Kepercayaan ini sendiri tidak membuat masyarakat Tionghoa yang "mengerti" mengagungkan lainnya dan tidak berdoa kepada Tuhan. Thian Kung (Tuhan) dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa adalah pusat dari segalanya. Dengan mengerti hal ini maka kitapun lebih paham mengapa saat masyarakat Tionghoa berdoa selalu memulai dari depan yakni ke hadapan Thien Kung dan kemudian baru bersujud kepada Shen Sian untuk menghormati dan mengagumi serta meneladani apa yang Beliau ajarkan.

Semoga dengan ini semua masyarakat Tionghoa lebih mengerti dan tidak tercebur pada kesalahan pemahaman yang akhirnya membuat salah kaprah dan perbuatan yang keliru. Dengan demikian asal usul serta adat istiadat tidak hilang karena pemikiran yang keliru.

Sumber Penulisan : 
- Li Xiaoxiang,"Origins of Chinese People and  Customs 
- Seminar "Budaya Tionghoa di Indonesia" oleh Madame Claudine Salmon & Myra Sidharta 21 Oct'11
- Confucius, 1967, Li Chi: Book of Rites, trans. James Legge, New Hyde Park: University Book
- Jung, Hwa Yol, 1981, “The Orphic Voice and Ecology” in Environmental Ethics, Vol. 3, pp. 329-340
- Kohr, Gary, 2201, “Environmental Chi –Feng Shui” in Living Chi: The Ancient Chinese Way to Bring Life Energy and Harmony into Your Life, Boston: Tuttle Publishing
- Lao Tzu, 1995, Tao Te Ching: The Book of Meaning and Life, trans. H.G. Oswald, New York:
Penguin Books
- Lie Tek Tjeng, 1983, Studi Wilayah Pada Umumnya, Asia Timur Pada Khususnya, Bandung: Penerbit Alumni
- Pound, Ezra, 1969, Confucius: The Graet Digest, The Unwobbling Pivot, The Analects, New York: New Direction Publishing Corporation

CINA PERANAKAN - 土 生 华 人 (tu sheng hua ren)


Gong Xi Fat Choi 2563, baru saja tanggal 23 Januri 2012 kemarin seluruh keturunan Cina merayakan Tahun Baru Lunar atau di Indonesia lebih populer dengan nama Tahun Baru Imlek. Saya sendiri adalah keturunan ke-2 yang lahir di Indonesia dari Mama dan keturunan ke-3 yang lahir di Indonesia dari garis keturunan ayah.

Dalam bagian ini saya tertarik untuk membahas Cina Peranakan di Indonesia. Kenapa? Hal ini menarik bagi saya karena rupanya banyak sekali teman-teman saya yang berasal dari China ataupun yang sempat bersekolah bahasa di China bingung ketika mencari-cari kosakata yang sebelumnya dianggap "Chinese Language" saat di Indonesia, namun tidak ditemukan dalam bahasa Cina Murni. Sehingga sering terjadi kesalah pahaman. Selain itu adanya menu-menu makanan unik yang dianggap Chinese Food di Indonesia karena embel-embel unsur bahasa Cina, namun tidak ada di Cina sebagai negeri asalnya seperti Lontong Cap Go Meh.

Kalau ditanya tentang adat istiadat, banyak sekali hal yang sudah tidak saya ketahui lagi. Adat kami sudah bercampur aduk. Mungkin sama seperti adatnya suku Jawa yang sudah keluar dari Pulau Jawa dan merantau 3 generasi di Pulau Sumatera. Mungkin bahasanya masih bisa disesuaikan, namun tidak semua adatnya masih dilakukan secara penuh bukan? Alasan itu semua yang menjadi asal mula ketertarikan saya untuk mempelajari Cina Peranakan di Indonesia, apa saja sejarahnya yang menjadikan hari ini ada, baik dari sisi kultur serta bahasa dan lainnya.

Mari kita mulai dari awal,

Peranakan berarti keturunan tanpa mengacu pada jenis etnis/suku tertentu, misalkan keturunan Belanda disebut peranakan Belanda, keturunan China disebut peranakan China.

Secara historis, ternyata tidak ada satupun suku/etnis di Indonesia yang "STERIL" dari proses akulturasi asimilasi ataupun hibrida. Istilah hibrida adalah proses penyatuan dan penyesuaian aspek-aspek sosiologi dari dua etnis atau lebih misalnya budaya, bahasa, seni dan yang paling sering adalah kuliner. Proses Asimilasi dan Hibrida adalah hal  yang sangat lumrah sekali dijaman 100 hingga 500 tahun yang lalu. Mengingat saat itu Indonesia merupakan "Melting Pot" atau tempat pertemuan yang paling penting di Asia Tenggara.

Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Sedangkan istilah peranakan Tionghoa pertama kali digunakan oleh Bangsa Belanda di abad ke 18 untuk menyebut para keturunan IMIGRAN Tionghoa yang datang dari TIONGKOK beberapa waktu sebelumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, istilah peranakan Tionghoa disingkat menjadi peranakan saja. Dalam bahasa Indonesia, semua sudah seperti sepakat bahwa sebutan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan. Tionghoa sudah berarti ''orang dari ras cina yang memilih tinggal dan menjadi warga negara Indonesia''. Kata Tionghoa sudah sangat enak bagi suku cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Kata Tionghoa sudah sangat pas untuk pengganti sebutan ''nonpri'' atau ''cina''.

Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa memiliki sejarah yang sangat panjang. Terlepas dari sejarah purba yang mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari wilayah Yunan, hubungan selanjutnya juga terjadi dijaman kerajaan kuno dimana saat itu bangsa Tionghoa menyebut kepulauan Nusantara Indonesia dengan istilah Nan Yang (Tidak sama dengan Nan Yang di Henan) yang secara harafiah artinya Laut Selatan yang mengacu pada wilayah selatan Tiongkok yang saat itu digunakan untuk menyebut wilayah Nusantara Indonesia, Malaysia dan Singapura.

Wilayah yang disebut "nan yang" itu bukan satu kesatuan dan bukan pula satu tempat tertentu. Kalau ditanya xia nan yang-nya ke mana? Barulah ditunjuk satu nama tempat yang lebih spesifik. Misalnya, akan ke Ji Gang (maksudnya Palembang). Mereka tidak tahu nama Palembang, tapi nama Ji Gang terkenalnya bukan main. Maklum, Ji Gang adalah salah kota terpenting yang harus didatangi misi Laksamana Cheng He (Cheng Ho). Ji Gang (artinya pelabuhan besar) memang jadi tempat tujuan utama siapa pun yang xia nan yang. Kalau tidak ke Ji Gang, mereka memilih ke San Bao Long. Maksudnya: Semarang. Atau ke San Guo Yang, maksudnya Singkawang. Atau ke Ye Chen, maksudnya Jakarta. Atau Wan Long, maksudnya, Bandung. Mereka tidak tahu nama-nama kota di wilayah nan yang seperti nama yang dikenal sekarang. Semua kota dan tempat yang mereka tuju bernama Mandarin.

Salah satu hal kemudian yang terjadi adalah imigrasi bangsa Tionghoa ke Nan Yang seperti ke negeri lainnya, bisa dibuktikan dengan adanya China Town diseluruh dunia, bahkan di Eropa dan Amerika. Gelombang xia nan yang itu sudah terjadi entah berapa ratus tahun lalu, bahkan ribu tahun lalu. Bahkan, tidak jelas mana nama yang digunakan lebih dulu: Palembang atau Ji Gang. Pontianak atau Kun Tian. Surabaya atau Si Shui. Banjarmasin atau Ma Chen. Migrasi itu berlangsung terus, sehingga ada orang Tionghoa yang sudah ratusan tahun dh wilayah nan yang, ada juga yang baru puluhan tahun. Waktu kedatangan mereka yang tidak sama itulah salah satu yang membedakan antara satu orang Tionghoa dan Tionghoa lainnya.

Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga China) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkian), Tengnang (Tiociu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人 : hanren, "orang Han"). Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Maka, masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar: totok, peranakan, dan hollands spreken.

Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang, atau istilah Totok juga disebutkan kepada mereka yang saat ini masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya. Sama seperti suku lainnya di Indonesia misalnya yang masih memegang teguh urutan upacara pernikahan, persalinan ataupun lainnya. Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia, kebanyakan tidak lagi menggunakan bahasa suku (Hokkian, Hakka atau lainnya) ataupun bahasa mandarin sebagai bahasa ibu yang dipercakapkan dirumah.

Sedangkan yang hollands spreken adalah yang -di mana pun lahirnya- menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok karena dianggap kuno atau tidak sesuai atau tidak logis akibat tidak memahami sama sekali arti dibalik asal usul tersebut.

Umumnya satu sampai dua dekade yang lalu kalangan Totok hanya menginginkan keturunannya menikah dengan orang dari garis keturunan Totok juga, menikah dengan orang dari keturunan peranakan masih bisa dipertimbangkan, namun sangat melarang keturunannya menikah dengan dari kalangan Hollands Spreken karena dianggap bisa "kualat" dan melupakan asal usulnya karena dianggap budayanya tidak cocok dan meninggalkan budaya aslinya. Namun dewasa ini tidak lagi terlalu dipermasalahkan secara khusus karena sudah terjadi pencampuran budaya antara ketiganya. Banyak keluarga Totok yang keturunannya sekolah keluar negeri dan kini lebih fasih menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa ibu, serta peranakan yang bercampur dengan kaum Hollands Spreken. Namun memang saat ini masih ada yang kurang menyetujui pernikahan antar suku yang berbeda, misalnya Hokkian dengan Hakka karena ada beberapa adatnya yang berbeda. Atau juga dengan suku lainnya diluar Tionghoa. Hal ini sepanjang "penelitian kecil" yang saya lakukan, terjadi hanya karena tidak ingin budayanya hilang. Baik sebutan maupun adat istiadat lainnya. Hal ini sepengetahuan saya juga sama dengan Suku lainnya di Indonesia yang lebih menyukai bila keturunannya menikah dengan suku yang sama.

Budaya-budaya yang terjadi yang kemudian menjadi budaya resmi Indonesia antara lainnya makanan Tahu, Siomay, Bakpao, Mie, capcay, lontong cap go meh ; Corak batik Lasem dan batik Pekalongan dan pesisir utara Jawa yang bernuansa awan, burung hong dan bunga ; bahasa antara lainnya engkok, enyak, lu, gue ; dan juga bentuk surat kabar yang ada saat ini. Semuanya sudah menjadi identitas Nusantara, sehingga tidak lagi dikenal asal muasalnya. Banyak bahkan yang tidak peduli dengan adat ini karena dianggap sudah kuno, yang memang dikhawatirkan akan punah atau diambil bangsa lain menjadi identitasnya mengingat pemula identitas tersebut berada di berbagai negara yakni peranakan China.

PERAN SOSIAL BUDAYA CINA PERANAKAN

Seperti dikatakan sebelumnya diatas bahwa Interaksi bangsa Indonesia dengan bangsa Tionghoa memiliki sejarah yang sangat panjang. Terlepas dari sejarah purba yang mengatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari wilayah Yunan, hubungan selanjutnya juga terjadi dijaman kerajaan kuno dan berlanjut pada jaman penjajahan Belanda & Jepang. Secara tulisan, saya (penyusun) belum menemukan bukti konkrit keterikatan secara langsung pada jaman Jepang. Namun untuk keterikatan hubungan pada jaman penjajahan Bel`nda seperti dituturkan dibawah ini.

Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.

Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indoensia, namun beliau merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.

Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.

Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Masjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.

Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar negeri.

-Budaya Tionghoa Peranakan by Josh Chen - Global Citizen posted Monday, 18 July 2011 ; http://baltyra.com/2011/07/18/budaya-tionghoa-peranakan/
-Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat. ed. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
-Rustopo 2008. Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan. Penerbit Ombak Yogyakarta
-Arismunandar A 2007. Kerajaan Majapahit abad XIV dan XV
-http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia
-Dreyfuss, Gail Raimi & Oka, Djoehana. 1995. “Chinnese Indonesian: A Kind of Language Hybrid?” dalam Pasifis Linguistics Series A-No.57: Papers in Pidgin and Creole Linguistics No.2. Departement if Linguistics Research School of Pasific Studies: The Austalian National University.

Sabtu, 07 Januari 2012

Yip Man (葉問)

Kalau tidak salah dua tahun yang lalu untuk pertama kalinya saya menonton film yang berceritakan tokoh legendaris Ip Man. Sebenarnya, saat saya diajak nonton oleh sahabat-sahabat saya, pikir saya ini film kartun. Hahahaha. 

Maklum ada film kartun yang sering diputar di salah satu TV Swasta Nasional saat saya masih kecil dulu, yang judulnya juga Ip Man (Bacanya ip men). Berhubung saya sendiri tidak pernah mengenal sosok Yip Man, maka saya pun berasumsi ini adalah re-make dari film kartun masa kecil saya, sehingga agak sedikit enggan untuk menonton film animasi "BIASA" di bioskop. Menurut saya beli DVD sudah cukuplah, apalagi sekarang DVD "orisinil a'la mangga dua" udah banyak yang bagus dan murah-murah lagi.

Namun saat saya menyaksikan film-nya, ada perasaan yang berbeda ketika melihat film semi dokumenter kisah perjuangan seorang Yip Man melawan penjajah Jepang. Kejujurannya, kerendahan hatinya bahkan terhadap istrinya sendiri, kesabarannya saat ditantang duel serta selalu memposisikan diri untuk tetap "menyelamatkan muka" orang lain. Belum lagi ketetiaannya kepada sahabat-sahabatnya serta kebijaksanaannya.

Karena keteladanan beliau, saya kemudian mencari tahu lebih banyak tentang beliau yang akhirnya hari ini dapat saya tuangkan didalam tulisan berjudul Yip Man (葉問). Mungkin ada beberapa hal yang masih kurang dari tulisan saya, sehingga bila ada masukan atau ada tambahan-tambahan, mohon bantuannya untuk segera menginfokan kepada saya via email. Terima kasih.

Yip Man
(葉問)
Yip Man (1 October 1893 – 2 December 1972), juga dikenal dengan nama dialek lainnya yaitu Ip Man, atau dengan nama lengkap lainnya Yip Kai-Man (葉繼問). Beliau adalah seorang pesilat China baik sebagai pelaku maupun penikmat, yang saat ini istilah kerennya adalah Seni Bela Diri China - Chinese Martial Art. Beliau sendiri pada akhirnya memiliki begitu banyak murid-murid yang kemudian menjadi guru-guru besar Seni Bela Diri dengan langgam (jenis) masing-masing termasuk Bruce Lee.

Yip terlahir dari pasangan Yip Oi-dor dan Ng Shui, dan merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Beliau terlahir dari keluarga kaya di wilayah Fohsan, Guangdong, dan dalam masa pembelajarannya menerima pendidikan secara China Tradisional. Kakak laki-laki tertuanya adalah Yip Kai-gak, dan kakak perempuan tertuanya adalah Yip Wan-mei sedangkan beliau memiliki seorang adik perempuan yaitu Yip Wan-hum.

Yip memulai belajar Wing Chun (Salah satu jenis bela diri) dari Guru Chan Wah Sun ketika beliau berumur 13 tahun. Dan karena saat itu Guru Chan sudah berumur 70th, maka Yip merupakan muridnya yang terakhir, dan karena alasan umur pula, maka Yip lebih banyak belajar kepada Murid Chan yang kedua yaitu Ng Chung-sok.Guru Chan kemudian meninggal ketika Yip berguru selama 3th, dan salah satu permintaan terakhirnya adalah agar Ng meneruskan mengajadi Yip sampai selesai.

Ketika berumur 15th Yip dengan bantuan salah seorang keluarganya, Leung Fut-ting pindah ke Hongkong dan bersekolah di St.Stephen's College setahun kemudian, yang merupakan sekolah terbaik bagi keluarga-keluarga pendatang (Eropa) dan keluarga kaya di Hongkong. 

Diwaktu inilah kemudian Yip terlibat dalam suatu masalah dimana beliau melerai saat melihat seorang Polisi memukul wanita yang lemah. Masalah ini kemudian diceritakan oleh salah seorang teman Yip kepada pria yang tinggal di apartmennya, dan pria ini menantang kemudian Yip untuk bertanding antara Wing Chun (yang menurutnya kurang bagus) dengan alirannya yaitu Chi Sao yakni jenis bela diri yang mengkhususkan untuk mengontrol serangan serta pertahanan. Lawannya ternyata adalah Leung Bik yang mampu mengalahkan Yip hanya dalam beberapa serangan, Leung Bik sendiri ternyata adalah senior dari Chan Wah-shun dan putra dari kakek guru Yip (Guru dari Guru Chan) yaitu Leung Jan. Setelah hari itu, Yip kemudian berlatih kepada Leung Bik.

Yip kembali ke Fohsan ketika berumur 24th dan menjadi seorang Polisi. Beliau mengajarkan Wing Chun kepada bawahan-bawahannya, teman serta keluarganya, namun demikian beliau memilih untuk tidak membuka sekolah bela diri secara resmi yang memungut bayaran. Beberapa dari muridnya kemudian dikenal sebagai Lok Yiu, Chow Kwong-yue (周光裕), Kwok Fu (郭富), Lun Kah (倫佳), Chan Chi-sun (陳志新) dan Lui Ying (呂應). Namun diantara mereka semua, Chow Kwong-yue disebutkan adalah yang terbaik, namun akhirnya Chow memilih untuk berbisnis dan berhenti belajar bela diri. Kwok Fu dan Lun Kah kemudian memiliki murid-murid sendiri dan mengajarkan Wing Chun di wilayah Foshan dan Guangdong. 

Chan Chi-sun dan Lui Ying kemudian pergi ke Hongkong, namun tak satupun diantara keduanya mengajarkan bela diri. Yip kemudian tinggalbersama Kwok Fu ketika terjadi perang kedua antara Jepang-China yang dikenal dengan Sino-Japannese War dan kembali setelah perang reda dan meneruskan karirnya menjadi Polisi. Yip meninggalkan Fohsan dan meuju Hong Kong di tahun 1949 setelah Partai Komunis China yang berkuasa memproklamirkan Repblik Rakyat China di China daratan. Yip sendiri adalah petugas Kuomintang (Partai Nasional China) yang merupakan rival dari Partai Komunis pada perang saudara China.

Yip sendiri tidak pernah benar-benar berhasil membangun sekolah bela diri. Namun sebagian dari murid-muridnya yang berhasil kemudian membuat namanya menjadi lebih populer. Di tahun 1967, Yip dan beberapa muridnya membangun Hong Kong Wing Chun Athletic Association (香港詠春拳體育會).

Yip Man's Graveyard
Di akhir hayatnya Yip diisukan menggunakan Opium yang mana saat itu sangat terkenal di China daratan. Bahkan salah seorang muridnya, Duncan Leung mengatakan bahwa salah satu kegagalannya karena beliau menggunakan uang sekolah hasil jerih payahnya untuk membeli opium.

Yip meninggal pada 2 Desember 1972 dengan penyakit kanker tenggorokan. Warisan terbesarnya adalah Wing Chun yang telah dikenal secara global. 

Beberapa dari muridnya yang terkenal adalah : Leung Sheung, Lok Siu, Leung Ting, Chu Shong-Tin, Wong Shun Leung, Wong Kiu (王喬), Yip Bo-ching (葉步青), William Cheung, Hawkins Cheung, Bruce Lee (李小龍), Wong Long, Wong Chok, Law Bing, Lee Shing, Ho Kam-ming, Moy Yat, Duncan Leung, Derek Fung Ping-bor (馮平波), Chris Chan Shing (陳成), Victor Kan Wah Chit (簡華捷), Stanley Chan, Chow Sze-chuen, Tam Lai, Lee Che-kong, Kang Sin-sin, Simon Lau, kemudian keponakannya Lo Man-kam, dan kedua puteranya Ip Ching dan Ip Chun.

Foshan Museum Ancestral Temple
Selain itu, Yip juga meninggalkan tulisan otentik tentang Wing Chun serta banyak barang-barang di Yip Man Tong Museum di Fohsan. 

Selain itu peninggalan-peninggalan beliau hari ini bisa disaksikan di Yip Man Memorial Hall yang digabung dalam sebuah bangunan Kuil Leluhur Fohsan sekaligus Museum yang dibuka untuk umum. 

Disana anda bisa melihat-lihat barang-barang peninggalan beliau mulai meja tulis, tulisan tangan, Tanda pengenal, Tulisan-tulisan tentang pengobatan tradisional China pembelajaran Yip Man serta alat-alat latihan bela diri yang dipakai beliau selama menjadi Guru.


Sumber Penulisan :
- Yip Man – Portrait of a Kung Fu Master, Page:3, Author(s): Ip Ching and Ron Heimberger, Paperback: 116 pages, Publisher: Cedar Fort (23 January 2001), Language: English, ISBN 1-55517-516-3, ISBN 978-1-55517-516-0
"Sam kwok Wing Chun – Yip Man Family Tree". Kwokwingchun.co.uk. Retrieved 29 November 2011.
- Bruce Lee: Fighting Spirit: A Biography, Bruce Thomas, p. 208 "Both Bruce's father and even his wing chun master Yip Man were no strangers to the opium pipe."
- Complete Wing Chun: The Definitive Guide to Wing Chun's History and Traditions, Author(s): ~ Robert Chu, Rene Ritchie,Y. Wu, Page:9, Paperback: 160 pages, Publisher: Tuttle Publishing; 1st edition (15 June 1998), Language: English, ISBN 0-8048-3141-6, ISBN 978-0-8048-3141-3 
- "History and Philosophy of Ip Man including family tree". Southfieldswingchun.co.uk. November 2011.
- As written in Romanised text in his passport which is on display in the Yip Man Tong museum in Foshan in China.